Hari ini sempurna empat hari menjelang satu bulan saya menginjakkan kaki di bumi sakura. Kali ini untuk jangka waktu yang lama. Sebuah amanah mesti ditunaikan selama kurang lebih dua tahun delapan bulan. Serasa menghitung hari menghabiskan hari-hari selama hampir satu bulan ini. Begitu terasa kesendirian jauh dari sanak keluarga, terutama suami dan keluarga tercinta. Tapi, cukup menjadi pengiburan tersendiri kala ada kejutan-kejutan kecil dari lingkungan sekelilingku, terutama menyangkut dienku, juga penutup kepala yang saya gunakan. Ternyata, Islam tidak ditolak di negeri matahari terbit ini. Aku mencicipi itu.
***
Kami berada sebuah gedung yang relatif gres dan berwarna coklat muda. Setelah bertanya beberapa kali, saya dan dia, seorang perempuan berkebangsaan Jepang dari kantor pemberi beasiswaku, menemukan gedung itu. Ruangan yang kami tuju berada di lantai dua. Sebuah ruangan daerah pendaftaran mahasiswa asing di universitas itu. Di dalam lift menyerupai tersentak oleh suatu hal, beliau bertanya: Febty-san wa oinori wo shimasuka. Nanji desuka(1). San ialah panggilan untuk menghormati seseorang. Aku melongo sesaat. Rupanya, kebiasaanku dan dua orang sahabat yang selalu minta ijin menunaikan sholat kala jam makan siang di kantor pemberi beasiswaku diingatnya. Kala itu, waktu sholat dzuhur sudah hampir habis. Aku berniat menjamak takhir shalat dzuhurku bersama dengan shalat ashar. Tapi, cukup menjadi sebuah kejutan tersendiri untukku. Itu pertama kali saya ditanya waktu shalatku di negeri matahari terbit ini, oleh seseorang yang berkebangsaan Jepang pula.
Selesai urusan kami di ruangan itu, saya dan beliau menuju ke ruangan senseiku. Asisten senseiku bersama dengan seorang temanku di laboratoriumku diminta oleh senseiku untuk menemaniku berbelanja beberapa barang yang saya butuhkan untuk kelengkapan di kamarku. Dan diapun pulang setelah saya bertemu dengan tangan kanan senseiku, dengan sebuah pesan kepada tangan kanan senseiku untuk mengajakku makan siang terlebih dahulu sebelum kami berbelanja.
Di kantin di universitasku, saya makan siang bersama tangan kanan senseiku. Tepatnya, tangan kanan senseiku hanya menemaniku. Hanya nampanku sendiri yang menunya ialah menu lengkap makan siang, sedang tangan kanan senseiku hanya makan semangkok makanan penutup. Aku tidak tahu namanya. Tinggal sedikit lagi, menu makan siangku habis, saya memberanikan diri untuk minta ijin menunaikan sholat dzuhur dan ashar sebelum kami pergi berbelanja. Jam dinding yang tergantung agak jauh dari kami duduk menyampaikan jika waktu sholat ashar sudah tiba.
Yoshino-san, kaimono e iku mae ni, watashi wa oinori wo shitte mo ii desuka. Daijoubu desuka(2). Bahasa jepangku masih terbata-bata. Aku berharap beliau mengerti maksudku.
Daijoubu desu. Doko desuka(3), tanyanya.
Konpyuta no heya no naka desu. Daijoubu desuka(4), jawabku. Ada sebuah daerah yang agak luang yang mampu saya gunakan untuk sholat di ruangan komputer di sebelah ruangan senseiku.
Daijoubu desu(5), jawabnya. Alhamdulillah, batinku. Dan kamipun menuju ke ruangan komputer itu. Dan saya semakin mengucap syukur di hati, kala kami menuju ke asramaku sepulang berbelanja, waktu Isya sudah menjelang.
***
Waktu itu sudah langit di jepang sudah gelap. Aku masih berada di labku. Sehabis menghadiri progress report meeting untuk mahasiswa doktoral di labku, senseiku memintaku untuk tetap tinggal di lab terlebih dahulu. Senseiku akan mengadakan farewell party untuk mahasiwa undergraduate di labnya yang akan mengikuti summer school selama dua ahad di Taiwan.
Hampir jam tujuh malam, farewell party itu dimulai. Semua orang sudah menempati kursinya masing-masing. Aku hendak mengambil makanan yang menarik perhatianku. Sepertinya cukup lezat. Aku pikir itu mungkin sejenis ikan. Dengan menggunakan sumpit, saya mengambil daging itu. Entahlah, beberapa kali daging itu terlepas dari sumpitku. Mungkin, sebab saya belum terbiasa menggunakan sumpit. Tetap kucoba, dan hingga di suatu detik tertentu, hampir serempak teman-teman labku, juga senseiku berteriak tertahan: Febty-san, kore wa butaniku(6). Allahu Akbar, hampir saja makanan yang diharamkan itu memenuhi lambungku. Aku lalu mengerti arti pandangan aneh teman-teman labku, juga senseiku ketika saya hendak mengambil daging itu. Segera kuganti sumpitku, dan mengganti makananku dengan roti, keju dan sayur-sayuran yang banyak tersedia di meja farewell party kami. Seribu syuku kupanjatkan ketika shalat isya di kamarku, sepulang dari farewell party itu. Terima kasih, Rabbi. Hanya itu yang sempat terucap dari lisanku.
***
Hari itu ialah hari libur di kampusku. Sorenya saya berencana untuk menginap di rumah seorang sahabat yang bersamaan denganku menginjakkan kaki di Jepang. Sebelum waktu sholat dzuhur, kusempatkan untuk berbelanja keperluan dapur, juga lauk-pauk dan sayur-mayur mentah di sebuah departement store yang kuanggap murah dan bersahabat dari asramaku. Sebenarnya saya mampu berjalan kaki untuk mencapai daerah itu, tapi hari siang itu saya memilih menggunakan kereta.
Memasuki departement store itu saya menuju ke lantai tiga, saya mencari beberapa barang yang saya butuhkan. Setelah itu, di lantai dua pun, saya juga berkeliling untuk mencari beberapa barang lagi. Aku tidak menemukan garam di lantai dua. Yah sudahlah, pikirku. Nanti, saya akan coba bertanya dengan kasirnya. Mungkin terletak di lantai satu.
Aku lupa garam dalam bahasa jepang. Salt wa doko desuka(7). Hanya kalimat itu yang alhasil muncul. Aku berharap seorang perempuan berkulit putih di hadapanku mengerti arti pertanyaanku.
Ikkai(8), jawabnya sambil menunjuk ke bawah. Entahlah darimana semuanya berawal. Akhirnya, kamipun mengobrol dalam bahasa Inggris. Dia sambil menghitung jumlah harga belanjaanku. Untunglah, belanjaanku agak banyak serta tidak ada orang lain yang mengantri di sana.
I am a muslim, kalimat itu alhasil muncul dari bibir mungilnya. Dan alhasil segera saya mengetahui jika beliau bukanlah warga negara Jepang. Dia sudah tinggal di Jepang selama 3 tahun. Dia juga masih berstatus mahasiswa di universitasku. Dan beliau berasal dari sebuah negara kecil di bersahabat Uzbekistan. Dan, akhirnya, kamipun saling bertukaran alamat email, sempurna sesaat jumlah total belanjaanku sudah dihitungnya. Sejumlah uang kuberikan kepadanya. Dan hari itu, kami berpisah dengan sebuah senyuman bahagia.
Aku tahu jika beliau tidak melihat penutup kepalaku, mungkin kalimat I am a muslim tidak akan terucap dari bibirnya. Dan juga, kami tidak akan saling bertukar alamat email dan selanjutnya berjanji untuk saling berkirim email. Tapi, Islamlah yang telah membuat kami saling merasa bersahabat satu sama lain, walaupun ketika itu ialah ketika pertama kali kau berjumpa, pun juga dengan sesuatu hal yang tidak disengaja. Sungguh, sebuah kebahagiaan tersendiri menemukan saudara seiman yang berbeda negara di tanah perantauan ini.
@ dormitory, Inage
Sumber dari http://ingafety.wordpress.com
0 Response to "Keajaiban Islam di Negeri Sakura"
Posting Komentar