Dalil Hukum Membaca Doa Tawassul berdasarkan Hadits dan Al-Quran
Tawassul yaitu mengambil sarana wasilah mediator semoga do’a cepat diterima dan dikabulkan Tuhan SWT. Al-wasilah berdasarkan bahasa berarti segala hal yang sanggup memberikan dan mendekatkan kepada sesuatu.
Sedang berdasarkan istilah syari’at, al wasilah yang diperintahkan dalam alqur’an yaitu segala hal yang sanggup mendekatkan seseorang kepada Tuhan Ta’ala, yaitu berupa amal ketaatan yang disyariatkan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Tuhan dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan dii kepadaNya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalanNya semoga kau beruntung.”(QS.Al-Maidah: 35)
Mengenai ayat di atas Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhu berkata, ”Makna wasilah dalam ayat tersebut yaitu al-qurbah (peribadatan yang sanggup mendekatkan diri kepada Allah).” Demikian pula yang diriwayatkan dari Mujahid, Ibnu Wa’il, al-Hasan, ‘Abdullah bin Katsir, as-Suddi, Ibnu Zaid, dan yang lainnya. Qatadah berkata perihal makna ayat tersebut, ”Mendekatlah kepada Tuhan dengan mentaatiNya dan mengerjakan amalan yang di ridhoiNya
Sedangkan berdasarkan Hadits dalil-dalil perihal disyari’atkannya tawassul dan istighotsah secara lebih detail :
1. Hadits perihal orang buta yang tiba kepada Rasulullah mengadukan kebutaannya. Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam al Mu’jam al Kabir dan al Mu’jam ash-Shaghir dan ia mensahihkannya. Juga diriwayatkan oleh at-Turmudzi, al Hakim dan lainnya. Hadits ini juga disahihkan oleh al Hafizh at-Turmudzi dari kalangan andal hadits mutaqaddimin, juga al Hafizh an-Nawawi, al Hafizh Ibn al Jazari dan ulama muta-akhkhirin yang lain.
Jika ada orang yang menyampaikan bahwa makna:
“اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ لِتُقْضَى لِيْ”.
Adalah:
“اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِدُعَاءِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ …”.
Dengan dalil perkataan Nabi di awal hadits:
“إِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ وَإِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ لَكَ”.
“Jika engkau mau engkau bisa bersabar, dan bila engkau mau saya akan mendoakan kamu”.
dan itu artinya orang tersebut memohon doa kepada Nabi dikala ia masih hidup dan itu terperinci boleh, sedangkan yang dilakukan oleh orang yang bertawassul yaitu memohon didoakan dari orang yang sudah mati atau hidup tapi tidak di hadapannya dan hal ini tidak diperbolehkan !
Jawabannya: bahwa dalam rangkaian hadits tersebut tidak disebutkan bahwa Nabi benar-benar mendoakan orang buta tersebut, yang disebutkan dalam riwayat tersebut bahwa sehabis orang buta itu pergi ke tempat wudlu’, Rasulullah meneruskan ta’lim ia sampai orang buta tersebut tiba kembali dalam keadaan sudah bisa melihat sebagaimana disebutkan oleh perawi hadits tersebut:
“فَفَعَلَ الرَّجُلُ مَا قَالَ، فَوَ اللهِ مَا تَفَرَّقْنَا وَلاَ طَالَ بِنَا الْمَجْلِسُ حَتَّى دَخَلَ عَلَيْنَا الرَّجُلُ وَقَدْ أَبْصَرَ كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِهِ ضُرٌّ قَطُّ”.
“Orang buta tersebut melaksanakan petunjuk Rasulullah, dan demi Tuhan kita belum usang berpisah dan belum usang majelis Rasulullah berlangsung sampai orang buta tersebut kembali tiba ke majelis dan telah bisa melihat seakan sebelumnya tidak pernah terkena kebutaan sama sekali”.
Dari penegasan sahabat ini diketahui bahwa maksud perkataan Nabi di awal hadits yaitu bahwa ia akan mengajarkan doa kepada orang buta tersebut, bukan mendoakannya secara langsung:
“… وَإِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ لَكَ” أَيْ عَلَّمْتُكَ دُعَاءً تَدْعُوْ بِهِ.
Kaprikornus pemaknaan yang dilakukan dengan taqdir (بِنَبِيِّنَا: بِدُعَاءِ نَبِيِّنَا ) itu tidak benar lantaran memang tidak ada dalilnya. Kaprikornus bertawassul dengan Nida’ sekalipun tidak di hadapan seorang Nabi atau wali yaitu boleh ibarat jelas-jelas disebutkan dalam hadits tersebut tanpa ditakwil-takwil dan tanpa perlu taqdir kalimat tertentu.
Faedah Hadits: Hadits ini memberikan dibolehkannya bertawassul dengan para nabi dan wali yang masih hidup tanpa berada di hadapan mereka. Hadits ini juga memberikan bolehnya bertawassul dengan para nabi dan wali, baik dikala masih hidup maupun sudah meninggal. Kaprikornus hadits yang sahih ini membantah perkataan sebagian orang bahwa bertawassul hanya boleh dengan al Hayy al Hadlir (Nabi atau Wali yang masih hidup dan tawassul dilakukan di hadapannya) dengan meminta doanya.
2. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya dari Abu Sa’id al Khudri –semoga Tuhan meridlainya-, ia berkata, Rasulullah bersabda :
“مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ إِلَى الصَّلاَةِ فَقَالَ : اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِيْنَ عَلَيْكَ وَبِحَقِّ مَمْشَايَ هَذَا فَإِنِّيْ لَمْ أَخْرُجْ أَشَرًا وَلاَ بَطَرًا وَلاَ رِيآءً وَلاَ سُمْعَةً خَرَجْتُ اتِّقَاءَ سَخَطِكَ وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ فَأَسْأَلُكَ أَنْ تُنْقِذَنِـيْ مِنَ النَّارِ وَأَنْ تَغْفِرَ لِيْ ذُنُوْبِيْ إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبِ إِلاَّ أَنْتَ ، أَقْبَلَ اللهُ عَلَيْهِ بِوَجْهِهِ وَاسْتَغْفَرَ لَهُ سَبْعُوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ” (رَوَاهُ أحْمدُ في الْمُسنَد والطّبَرَانِيّ في الدعاء وابن السُّنِّيِّ في عمل اليوم والليلة والبيهقيّ في الدعوات الكبير وغيرهم وحسَّنَ إسنادَه الحافظ ابن حجر والحافظ أبو الحسن الْمَقدِسيّ والحافظ العراقيّ والحافظ الدمياطيّ وغيرهم).
Maknanya: “Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melaksanakan shalat (di masjid) kemudian ia berdo’a: “Ya Tuhan bahwasanya saya memohon kepada-Mu dengan derajat orang-orang yang saleh yang berdo’a kepada-Mu (baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal) dan dengan derajat langkah-langkahku dikala berjalan ini, bahwasanya saya keluar rumah bukan untuk memberikan perilaku arogan dan sombong, juga bukan lantaran riya’ dan sum’ah, saya keluar rumah untuk menjauhi murka-Mu dan mencari ridla-Mu, maka saya memohon kepada-Mu: selamatkanlah saya dari api neraka dan ampunilah dosa-dosaku, bahwasanya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, maka Tuhan akan meridlainya dan tujuh puluh ribu malaikat memohonkan ampun untuknya” (H.R. Ahmad dalam “al Musnad”, ath-Thabarani dalam “ad-Du’a”, Ibn as-Sunni dalam” ‘Amal al Yaum wa al-laylah”, al Bayhaqi dalam Kitab “ad-Da’awat al Kabir” dan selain mereka, sanad hadits ini dihasankan oleh al Hafizh Ibn Hajar, al Hafizh Abu al Hasan al Maqdisi, al Hafizh al ‘Iraqi, al Hafizh ad-Dimyathi dan lain-lain).
Faedah Hadits: Hadits ini memberikan dibolehkannya bertawassul dengan para shalihin, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Dalam hadits ini pula Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam mengajarkan untuk menggabungkan antara tawassul dengan adz-Dzawaat al Faadlilah (seorang nabi atau wali dan orang-orang saleh) dan tawassul dengan amal saleh, ia tidak membedakan antara keduanya, tawassul jenis pertama hukumnya boleh dan yang kedua juga boleh. Dalam hadits ini tawassul dengan adz-Dzawaat al Faadlilah ada pada kata (بِحَقِّ السَّائِلِيْنَ عَلَيْكَ ) dan tawassul dengan amal saleh ada pada kata (وَبِحَقِّ مَمْشَايَ هَذَا ).
3. Hadits riwayat al Bayhaqi, Ibnu Abi Syaibah dan lainnya:
عَنْ مَالِك الدَّار وَكانَ خَازِنَ عُمَرَ قال: أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِيْ زَمَانِ عُمَرَ فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا، فَأُتِيَ الرَّجُلُ فِيْ الْمَنَامِ فَقِيْلَ لَهُ: أَقْرِئْ عُمَرَ السَّلاَمَ وَأَخْبِرْهُ أَنَّهُمْ يُسْقَوْنَ، وَقُلْ لَهُ عَلَيْكَ الكَيْسَ الكَيْسَ، فَأَتَى الرَّجُلُ عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ، فَبَكَى عُمَرُ وَقَالَ: يَا رَبِّ لاَ آلُوْ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ.
Maknanya: “Paceklik tiba di masa Umar, maka salah seorang sahabat yaitu Bilal ibn al Harits al Muzani mendatangi kuburan Nabi dan mengatakan: Wahai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Tuhan untuk ummat-mu lantaran sungguh mereka betul-betul telah binasa, kemudian orang ini bermimpi bertemu dengan Rasulullah dan Rasulullah berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan bahwa hujan akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya “bersungguh-sungguhlah dalam melayani ummat”. Kemudian sahabat tersebut tiba kepada Umar dan memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Umar menangis dan mengatakan: “Ya Allah, Saya akan kerahkan semua upayaku kecuali yang saya tidak mampu”.
Hadits ini disahihkan oleh al Bayhaqi, Ibnu Katsir, al Hafizh Ibnu Hajar dan lainnya.
Faedah Hadits: Hadits ini memberikan dibolehkannya beristighatsah dengan para nabi dan wali yang sudah meninggal dengan redaksi Nida’ (memanggil) yaitu (يَا رَسُوْلَ اللهِ). Ketika Bilal ibn al Harits al Muzani mengatakan: (اسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ ) maknanya adalah: “Mohonkanlah hujan kepada Tuhan untuk ummat-mu”, bukan ciptakanlah hujan untuk ummatmu. Kaprikornus dari sini diketahui bahwa boleh bertawassul dan beristighatsah dengan mengatakan:
” يَا رَسُوْلَ اللهِ، ضَاقَتْ حِيْلَتِيْ أَدْرِكْنِيْ أَوْ أَغِثْنِيْ يَا رَسُوْلَ اللهِ”.
Karena maknanya yaitu tolonglah saya dengan doamu kepada Allah, selamatkanlah saya dengan doamu kepada Allah. Rasulullah bukan pencipta manfa’at atau mara bahaya, ia hanyalah lantaran seseorang diberikan manfaat atau dijauhkan dari bahaya. Rasulullah saja telah menyebut hujan sebagai Mughits (penolong dan penyelamat) dalam hadits riwayat Abu Dawud dan lainnya dengan sanad yang sahih:
“اللّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيْثًا مَرِيْئًا مَرِيْعًا نَافِعًا غَيْرَ ضَآرٍّ عَاجِلاً غَيْرَ ءَاجِلٍ”.
Berarti sebagaimana Rasulullah menamakan hujan sebagai mughits lantaran hujan menyelamatkan dari kesusahan dengan izin Allah, demikian pula seorang nabi atau wali menyelamatkan dari kesusahan dan kesulitan dengan seizin Allah. Kaprikornus boleh menyampaikan (أَغِثْنِيْ يَا رَسُوْلَ اللهِ ) dan semacamnya dikala bertawassul, lantaran keyakinan seorang muslim dikala mengatakannya yaitu bahwa seorang nabi dan wali hanya lantaran sedangkan pencipta manfaat dan yang menjauhkan mara ancaman secara hakiki yaitu Allah, bukan nabi atau wali tersebut.
Umar yang mengetahui bahwa Bilal ibn al Harits al Muzani mendatangi kuburan Nabi, kemudian bertawassul, beristighatsah dengan mengatakan: (يَا رَسُوْلَ اللهِ، اسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ) yang mengandung Nida’ dan perkataan (اسْتَسْقِ) tidak mengkafirkan atau memusyrikkan sahabat Bilal ibn al Harits al Muzani, sebaliknya menyetujui perbuatannya dan tidak ada seorang sahabat-pun yang mengingkarinya.
4. Ath-Thabarani meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah bersabda:
“إِنَّ للهِ مَلاَئِكَةً فِيْ الأَرْضِ سِوَى الْحَفَظَةِ يَكْتُبُوْنَ مَا يَسْقُطُ مِنْ وَرَقِ الشَّجَرِ فَإِذَا أَصَابَ أَحَدَكُمْ عَرْجَةٌ بِأَرْضٍ فَلاَةٍ فَلْيُنَادِ أَعِيْنُوْا عِبَادَ اللهِ” رواه الطّبَرَانِيّ وقال الحافظ الهيثميّ: رجاله ثقات ورواه أيضا البزّار وابن السُّنِّيِّ.
Maknanya: “Sesungguhnya Tuhan mempunyai para malaikat di bumi selain hafazhah yang menulis daun-daun yang berguguran, maka bila kalian ditimpa kesulitan di suatu padang maka hendaklah mengatakan: tolonglah aku, wahai para hamba Allah” (H.R. ath-Thabarani dan al Hafizh al Haytsami mengatakan: perawi-perawinya terpercaya, juga diriwayatkan oleh al Bazzar dan Ibnu as-Sunni)
Faedah Hadits: Hadits ini memberikan dibolehkannya beristi’anah dan beristighatsah dengan selain Allah, yaitu para shalihin meskipun tidak di hadapan mereka dengan redaksi Nida’ (memanggil). An-Nawawi sehabis menyebutkan riwayat Ibnu as-Sunni dalam kitabnya al Adzkar mengatakan: “Sebagian dari guru-guruku yang sangat alim pernah menceritakan bahwa pernah suatu dikala lepas binatang tunggangannya dan ia mengetahui hadits ini kemudian ia mengucapkannya maka seketika binatang tunggangan tersebut berhenti berlari, Saya-pun suatu dikala bersama suatu jama’ah kemudian terlepas seekor binatang mereka dan mereka bersusah payah berusaha menangkapnya dan tidak berhasil kemudian saya mengatakannya dan seketika binatang tersebut berhenti tanpa lantaran kecuali ucapan tersebut”. Ini memberikan bahwa mengucapkan tawassul dan istighatsah tersebut yaitu amalan para ulama andal hadits dan yang lainnya.
5. Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dengan sanad yang hasan sebagaimana dikatakan oleh al Hafizh Ibnu Hajar bahwa al Harits ibn Hassan al Bakri berkata kepada Rasulullah:
” أَعُوْذُ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ أَنْ أَكُوْنَ كَوَافِدِ عَادٍ”
Maknanya: “Aku berlindung kepada Tuhan dan Rasul-Nya dari menjadi ibarat utusan kaum ‘Aad (utusan yang yustru menghancurkan kaumnya sendiri yang mengutusnya)” (H.R. Ahmad)
Faedah Hadits: Hadits ini memberikan dibolehkannya bertawassul dan beristighatsah meskipun dengan lafazh al Isti’adzah. Dalam hadits ini al Harits ibn Hassan al Bakri memohon derma (beristi’adzah) kepada Tuhan lantaran Tuhan yaitu yang dimohoni derma secara hakiki (Musta’adz bihi haqiqi), sedangkan dikala ia memohon derma kepada Rasulullah lantaran Rasulullah yaitu yang dimohoni derma dengan makna lantaran (Musta’adz bihi ‘ala ma’na annahu sabab). Rasulullah tidak mengkafirkannya, tidak memusyrikkannya bahkan tidak mengingkarinya sama sekali, padahal kita tahu bahwa Rasulullah tidak akan pernah mendiamkan terjadinya perkara mungkar sekecil apapun. Dalam hadits ini Rasulullah tidak mengatakan: “Engkau telah musyrik lantaran mengatakan: (وَرَسُوْلِهِ), lantaran engkau telah beristi’adzah kepadaku”.
6. Al Bazzar meriwayatkan hadits Rasulullah:
“حَيَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ وَمَمَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ، تُحْدِثُوْنَ وَيُحْدَثُ لَكُمْ، وَوَفَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ تُعْرَضُ عَلَيَّ أَعْمَالُكُمْ، فَمَا رَأَيْتُ مِنْ خَيْرٍ حَمِدْتُ اللهَ عَلَيْهِ وَمَا رَأَيْتُ مِنْ شَرٍّ اسْتَغْفَرْتُ لَكُمْ” رواه البزّار ورجاله رجال الصحيح
Maknanya: “Hidupku yaitu kebaikan bagi kalian dan matiku yaitu kebaikan bagi kalian, dikala saya hidup kalian melaksanakan banyak hal kemudian dijelaskan hukumnya bagi kalian melalui aku. Matiku juga kebaikan bagi kalian, diberitahukan kepadaku amal perbuatan kalian, bila saya melihat amal kalian baik maka saya memuji Tuhan karenanya dan bila saya melihat ada amal kalian yang jelek saya memohonkan ampun untuk kalian kepada Allah” (H.R. al Bazzar dan para perawinya yaitu para perawi sahih)
Faedah Hadits: Hadits ini memberikan bahwa meskipun sudah meninggal Rasulullah bisa mendoakan atau memohonkan ampun kepada Tuhan untuk ummatnya. Oleh karenanya diperbolehkan bertawassul dengannya, memohon didoakan olehnya meskipun ia sudah meninggal.
7. Hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari dalam kitabnya al Adab al Mufrad dengan sanad yang sahih tanpa ‘illat dari Abdurrahman ibn Sa’d, ia berkata: Suatu dikala kaki Ibnu Umar terkena semacam kelumpuhan (Khadar), maka salah seorang yang hadir mengatakan: sebutkanlah orang yang paling Anda cintai ! kemudian Ibnu Umar mengatakan: Yaa Muhammad. Seketika itu kaki ia sembuh.
Faedah Hadits: Hadits ini memberikan bahwa sahabat Abdullah ibnu Umar melaksanakan Istighatsah dengan Nida’ “Yaa Muhammad (يَا مُحَمَّدُ )”. Makna “يَا مُحَمَّدُ” yaitu أَدْرِكْنِيْ بِدُعَائِكَ إِلَى اللهِ: tolonglah saya dengan doamu kepada Allah. Hal ini dilakukan sehabis Rasulullah wafat. Ini memberikan bahwa boleh beristighatsah dan bertawassul dengan Rasulullah sehabis ia wafat, meskipun dengan memakai redaksi Nida’, jadi Nida’ al Mayyit (memanggil seorang nabi dan wali yang telah meninggal) bukan syirik.
8. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi Musa berdoa :
” رَبِّ أَدْنِنِيْ مِنَ الأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ رَمْيَةً بِحَجَرٍ”.
Maknanya: “Ya Tuhan dekatkanlah saya ke Tanah Bayt al Maqdis meskipun sejauh lemparan batu”.
Kemudian Rasulullah bersabda :
“وَاللهِ لَوْ أَنِّيْ عِنْدَهُ لَأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ إِلَى جَنْبِ الطَّرِيْقِ عِنْدَ الكَثِيْبِ الأَحْمَرِ” أخرجه البخاريّ ومسلم
Maknanya : “Demi Allah, bila saya berada di bersahabat kuburan Nabi Musa pasti akan saya perlihatkan kuburannya kepada kalian di samping jalan di kawasan al Katsib al Ahmar” (H.R. al Bukhari dan Muslim)
Faedah Hadits: Tentang hadits ini al Hafizh Waliyyuddin al ‘Iraqi berkata dalam kitabnya “Tharh at-Tatsrib”: “Dalam hadits ini terdapat dalil kesunnahan untuk mengetahui kuburan orang-orang yang saleh untuk berziarah ke sana dan memenuhi hak-haknya”.
Dan telah menjadi tradisi di kalangan para ulama Salaf dan Khalaf bahwa dikala mereka menghadapi kesulitan atau ada keperluan mereka mendatangi kuburan orang-orang saleh untuk berdoa di sana dan mengambil berhaknya dan setelahnya permohonan mereka dikabulkan oleh Allah. Al Imam asy-Syafi’i dikala ada hajat yang ingin dikabulkan seringkali mendatangi kuburan Abu Hanifah dan berdoa di sana dan setelahnya dikabulkan doanya oleh Allah. Abu ‘Ali al Khallal mendatangi kuburan Musa ibn Ja’far. Ibrahim al Harbi, al Mahamili mendatangi kuburan Ma’ruf al Karkhi sebagaimana diriwayatkan oleh al Hafizh al Khathib al Baghdadi dalam kitabnya “Tarikh Baghdad”. Karena itu para andal hadits ibarat al Hafizh Syamsuddin Ibn al Jazari menyampaikan dalam kitabnya ‘Uddah al Hishn al Hashin :
“وَمِنْ مَوَاضِعِ إِجَابَةِ الدُّعَاءِ قُبُوْرُ الصَّالِـحِيْنَ”.
“Di antara tempat dikabulkannya doa yaitu kuburan orang-orang yang saleh “.
Al Hafizh Ibn al Jazari sendiri sering mendatangi kuburan Imam Muslim ibn al Hajjaj, penulis Sahih Muslim dan berdoa di sana sebagaimana disebutkan oleh Syekh Ali al Qari dalam Syarh al Misykat.
KISAH TELADAN
Al Hafizh Abdurrahman ibn al Jawzi menyebutkan sebuah kisah dalam kitabnya
“Al Wafa bi Ahwal al Mushthafa” –kisah ini juga dituturkan oleh al Hafizh adl-Dliya’ al Maqdisi – bahwa Abu Bakr al Minqari berkata: “Adalah aku, ath-Thabarani dan Abu asy-Syaikh berada di Madinah. Kami dalam suatu keadaan dan kemudian rasa lapar melilit perut kami, pada hari itu kami tidak makan. Ketika tiba waktu Isya’, saya mendatangi makam Rasulullah dan mengadu: “Yaa Rasulallah, al Juu’ al Juu’ (Wahai Rasulullah! lapar…lapar)”, kemudian saya kembali. Abu as-Syaikh berkata kepadaku: “Duduklah, (mungkin) akan ada rizqi atau (kalau tidak, kita akan) mati”.
Abu Bakr melanjutkan kisahnya: “Kemudian saya dan Abu asy-Syaikh beranjak tidur sedangkan ath-Thabarani duduk melihat sesuatu. Tiba-tiba datanglah seorang ‘Alawi (sebutan bagi orang yang mempunyai garis keturunan dengan Ali dan Fatimah) kemudian ia mengetuk pintu dan ternyata ia ditemani oleh dua orang pembantu yang masing-masing membawa panci besar yang di dalamnya ada banyak makanan. Maka kami duduk kemudian makan. Kami mengira sisa masakan akan diambil oleh pembantu itu, tapi ternyata ia meninggalkan kami dan membiarkan sisa masakan itu ada pada kami. Setelah kami simpulan makan, ‘Alawi itu berkata: “Wahai kaum, apakah kalian mengadu kepada Rasulullah?, bahwasanya saya tadi mimpi melihat ia dan ia menyuruhku untuk membawakan sesuatu kepada kalian”.
Dalam kisah ini, secara terperinci dinyatakan bahwa berdasarkan mereka, mendatangi makam Rasulullah untuk meminta pertolongan (al Istighotsah) yaitu boleh dan baik. Siapapun mengetahui bahwa mereka bertiga (terutama, ath-Thabarani, spesialis hadits kenamaan) yaitu ulama–ulama besar Islam. Kisah ini dinukil oleh para ulama termasuk ulama madzhab Hanbali dan lainnya. Mereka ini di mata ummat Islam yaitu Muwahhidun (Ahli Tauhid), bahkan merupakan tokoh-tokoh besar di kalangan para Ahli Tauhid, sedangkan di mata para anti tawassul mereka dianggap sebagai andal bid’ah dan syirik. Padahal kalau mau ditelusuri, peristiwa-peristiwa semacam ini sangatlah banyak ibarat yang disebutkan sebagian pada dalil ke delapan.
Demikian Dalil Hukum Membaca Doa Tawassul berdasarkan Hadits dan Al-Quran
Tawassul yaitu mengambil sarana wasilah mediator semoga do’a cepat diterima dan dikabulkan Tuhan SWT. Al-wasilah berdasarkan bahasa berarti segala hal yang sanggup memberikan dan mendekatkan kepada sesuatu.
Sedang berdasarkan istilah syari’at, al wasilah yang diperintahkan dalam alqur’an yaitu segala hal yang sanggup mendekatkan seseorang kepada Tuhan Ta’ala, yaitu berupa amal ketaatan yang disyariatkan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Tuhan dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan dii kepadaNya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalanNya semoga kau beruntung.”(QS.Al-Maidah: 35)
Mengenai ayat di atas Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhu berkata, ”Makna wasilah dalam ayat tersebut yaitu al-qurbah (peribadatan yang sanggup mendekatkan diri kepada Allah).” Demikian pula yang diriwayatkan dari Mujahid, Ibnu Wa’il, al-Hasan, ‘Abdullah bin Katsir, as-Suddi, Ibnu Zaid, dan yang lainnya. Qatadah berkata perihal makna ayat tersebut, ”Mendekatlah kepada Tuhan dengan mentaatiNya dan mengerjakan amalan yang di ridhoiNya
Sedangkan berdasarkan Hadits dalil-dalil perihal disyari’atkannya tawassul dan istighotsah secara lebih detail :
1. Hadits perihal orang buta yang tiba kepada Rasulullah mengadukan kebutaannya. Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam al Mu’jam al Kabir dan al Mu’jam ash-Shaghir dan ia mensahihkannya. Juga diriwayatkan oleh at-Turmudzi, al Hakim dan lainnya. Hadits ini juga disahihkan oleh al Hafizh at-Turmudzi dari kalangan andal hadits mutaqaddimin, juga al Hafizh an-Nawawi, al Hafizh Ibn al Jazari dan ulama muta-akhkhirin yang lain.
Jika ada orang yang menyampaikan bahwa makna:
“اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ لِتُقْضَى لِيْ”.
Adalah:
“اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِدُعَاءِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ …”.
Dengan dalil perkataan Nabi di awal hadits:
“إِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ وَإِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ لَكَ”.
“Jika engkau mau engkau bisa bersabar, dan bila engkau mau saya akan mendoakan kamu”.
dan itu artinya orang tersebut memohon doa kepada Nabi dikala ia masih hidup dan itu terperinci boleh, sedangkan yang dilakukan oleh orang yang bertawassul yaitu memohon didoakan dari orang yang sudah mati atau hidup tapi tidak di hadapannya dan hal ini tidak diperbolehkan !
Jawabannya: bahwa dalam rangkaian hadits tersebut tidak disebutkan bahwa Nabi benar-benar mendoakan orang buta tersebut, yang disebutkan dalam riwayat tersebut bahwa sehabis orang buta itu pergi ke tempat wudlu’, Rasulullah meneruskan ta’lim ia sampai orang buta tersebut tiba kembali dalam keadaan sudah bisa melihat sebagaimana disebutkan oleh perawi hadits tersebut:
“فَفَعَلَ الرَّجُلُ مَا قَالَ، فَوَ اللهِ مَا تَفَرَّقْنَا وَلاَ طَالَ بِنَا الْمَجْلِسُ حَتَّى دَخَلَ عَلَيْنَا الرَّجُلُ وَقَدْ أَبْصَرَ كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِهِ ضُرٌّ قَطُّ”.
“Orang buta tersebut melaksanakan petunjuk Rasulullah, dan demi Tuhan kita belum usang berpisah dan belum usang majelis Rasulullah berlangsung sampai orang buta tersebut kembali tiba ke majelis dan telah bisa melihat seakan sebelumnya tidak pernah terkena kebutaan sama sekali”.
Dari penegasan sahabat ini diketahui bahwa maksud perkataan Nabi di awal hadits yaitu bahwa ia akan mengajarkan doa kepada orang buta tersebut, bukan mendoakannya secara langsung:
“… وَإِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ لَكَ” أَيْ عَلَّمْتُكَ دُعَاءً تَدْعُوْ بِهِ.
Kaprikornus pemaknaan yang dilakukan dengan taqdir (بِنَبِيِّنَا: بِدُعَاءِ نَبِيِّنَا ) itu tidak benar lantaran memang tidak ada dalilnya. Kaprikornus bertawassul dengan Nida’ sekalipun tidak di hadapan seorang Nabi atau wali yaitu boleh ibarat jelas-jelas disebutkan dalam hadits tersebut tanpa ditakwil-takwil dan tanpa perlu taqdir kalimat tertentu.
Faedah Hadits: Hadits ini memberikan dibolehkannya bertawassul dengan para nabi dan wali yang masih hidup tanpa berada di hadapan mereka. Hadits ini juga memberikan bolehnya bertawassul dengan para nabi dan wali, baik dikala masih hidup maupun sudah meninggal. Kaprikornus hadits yang sahih ini membantah perkataan sebagian orang bahwa bertawassul hanya boleh dengan al Hayy al Hadlir (Nabi atau Wali yang masih hidup dan tawassul dilakukan di hadapannya) dengan meminta doanya.
2. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya dari Abu Sa’id al Khudri –semoga Tuhan meridlainya-, ia berkata, Rasulullah bersabda :
“مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ إِلَى الصَّلاَةِ فَقَالَ : اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِيْنَ عَلَيْكَ وَبِحَقِّ مَمْشَايَ هَذَا فَإِنِّيْ لَمْ أَخْرُجْ أَشَرًا وَلاَ بَطَرًا وَلاَ رِيآءً وَلاَ سُمْعَةً خَرَجْتُ اتِّقَاءَ سَخَطِكَ وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ فَأَسْأَلُكَ أَنْ تُنْقِذَنِـيْ مِنَ النَّارِ وَأَنْ تَغْفِرَ لِيْ ذُنُوْبِيْ إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبِ إِلاَّ أَنْتَ ، أَقْبَلَ اللهُ عَلَيْهِ بِوَجْهِهِ وَاسْتَغْفَرَ لَهُ سَبْعُوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ” (رَوَاهُ أحْمدُ في الْمُسنَد والطّبَرَانِيّ في الدعاء وابن السُّنِّيِّ في عمل اليوم والليلة والبيهقيّ في الدعوات الكبير وغيرهم وحسَّنَ إسنادَه الحافظ ابن حجر والحافظ أبو الحسن الْمَقدِسيّ والحافظ العراقيّ والحافظ الدمياطيّ وغيرهم).
Maknanya: “Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melaksanakan shalat (di masjid) kemudian ia berdo’a: “Ya Tuhan bahwasanya saya memohon kepada-Mu dengan derajat orang-orang yang saleh yang berdo’a kepada-Mu (baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal) dan dengan derajat langkah-langkahku dikala berjalan ini, bahwasanya saya keluar rumah bukan untuk memberikan perilaku arogan dan sombong, juga bukan lantaran riya’ dan sum’ah, saya keluar rumah untuk menjauhi murka-Mu dan mencari ridla-Mu, maka saya memohon kepada-Mu: selamatkanlah saya dari api neraka dan ampunilah dosa-dosaku, bahwasanya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, maka Tuhan akan meridlainya dan tujuh puluh ribu malaikat memohonkan ampun untuknya” (H.R. Ahmad dalam “al Musnad”, ath-Thabarani dalam “ad-Du’a”, Ibn as-Sunni dalam” ‘Amal al Yaum wa al-laylah”, al Bayhaqi dalam Kitab “ad-Da’awat al Kabir” dan selain mereka, sanad hadits ini dihasankan oleh al Hafizh Ibn Hajar, al Hafizh Abu al Hasan al Maqdisi, al Hafizh al ‘Iraqi, al Hafizh ad-Dimyathi dan lain-lain).
Faedah Hadits: Hadits ini memberikan dibolehkannya bertawassul dengan para shalihin, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Dalam hadits ini pula Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam mengajarkan untuk menggabungkan antara tawassul dengan adz-Dzawaat al Faadlilah (seorang nabi atau wali dan orang-orang saleh) dan tawassul dengan amal saleh, ia tidak membedakan antara keduanya, tawassul jenis pertama hukumnya boleh dan yang kedua juga boleh. Dalam hadits ini tawassul dengan adz-Dzawaat al Faadlilah ada pada kata (بِحَقِّ السَّائِلِيْنَ عَلَيْكَ ) dan tawassul dengan amal saleh ada pada kata (وَبِحَقِّ مَمْشَايَ هَذَا ).
3. Hadits riwayat al Bayhaqi, Ibnu Abi Syaibah dan lainnya:
عَنْ مَالِك الدَّار وَكانَ خَازِنَ عُمَرَ قال: أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِيْ زَمَانِ عُمَرَ فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا، فَأُتِيَ الرَّجُلُ فِيْ الْمَنَامِ فَقِيْلَ لَهُ: أَقْرِئْ عُمَرَ السَّلاَمَ وَأَخْبِرْهُ أَنَّهُمْ يُسْقَوْنَ، وَقُلْ لَهُ عَلَيْكَ الكَيْسَ الكَيْسَ، فَأَتَى الرَّجُلُ عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ، فَبَكَى عُمَرُ وَقَالَ: يَا رَبِّ لاَ آلُوْ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ.
Maknanya: “Paceklik tiba di masa Umar, maka salah seorang sahabat yaitu Bilal ibn al Harits al Muzani mendatangi kuburan Nabi dan mengatakan: Wahai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Tuhan untuk ummat-mu lantaran sungguh mereka betul-betul telah binasa, kemudian orang ini bermimpi bertemu dengan Rasulullah dan Rasulullah berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan bahwa hujan akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya “bersungguh-sungguhlah dalam melayani ummat”. Kemudian sahabat tersebut tiba kepada Umar dan memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Umar menangis dan mengatakan: “Ya Allah, Saya akan kerahkan semua upayaku kecuali yang saya tidak mampu”.
Hadits ini disahihkan oleh al Bayhaqi, Ibnu Katsir, al Hafizh Ibnu Hajar dan lainnya.
Faedah Hadits: Hadits ini memberikan dibolehkannya beristighatsah dengan para nabi dan wali yang sudah meninggal dengan redaksi Nida’ (memanggil) yaitu (يَا رَسُوْلَ اللهِ). Ketika Bilal ibn al Harits al Muzani mengatakan: (اسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ ) maknanya adalah: “Mohonkanlah hujan kepada Tuhan untuk ummat-mu”, bukan ciptakanlah hujan untuk ummatmu. Kaprikornus dari sini diketahui bahwa boleh bertawassul dan beristighatsah dengan mengatakan:
” يَا رَسُوْلَ اللهِ، ضَاقَتْ حِيْلَتِيْ أَدْرِكْنِيْ أَوْ أَغِثْنِيْ يَا رَسُوْلَ اللهِ”.
Karena maknanya yaitu tolonglah saya dengan doamu kepada Allah, selamatkanlah saya dengan doamu kepada Allah. Rasulullah bukan pencipta manfa’at atau mara bahaya, ia hanyalah lantaran seseorang diberikan manfaat atau dijauhkan dari bahaya. Rasulullah saja telah menyebut hujan sebagai Mughits (penolong dan penyelamat) dalam hadits riwayat Abu Dawud dan lainnya dengan sanad yang sahih:
“اللّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيْثًا مَرِيْئًا مَرِيْعًا نَافِعًا غَيْرَ ضَآرٍّ عَاجِلاً غَيْرَ ءَاجِلٍ”.
Berarti sebagaimana Rasulullah menamakan hujan sebagai mughits lantaran hujan menyelamatkan dari kesusahan dengan izin Allah, demikian pula seorang nabi atau wali menyelamatkan dari kesusahan dan kesulitan dengan seizin Allah. Kaprikornus boleh menyampaikan (أَغِثْنِيْ يَا رَسُوْلَ اللهِ ) dan semacamnya dikala bertawassul, lantaran keyakinan seorang muslim dikala mengatakannya yaitu bahwa seorang nabi dan wali hanya lantaran sedangkan pencipta manfaat dan yang menjauhkan mara ancaman secara hakiki yaitu Allah, bukan nabi atau wali tersebut.
Umar yang mengetahui bahwa Bilal ibn al Harits al Muzani mendatangi kuburan Nabi, kemudian bertawassul, beristighatsah dengan mengatakan: (يَا رَسُوْلَ اللهِ، اسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ) yang mengandung Nida’ dan perkataan (اسْتَسْقِ) tidak mengkafirkan atau memusyrikkan sahabat Bilal ibn al Harits al Muzani, sebaliknya menyetujui perbuatannya dan tidak ada seorang sahabat-pun yang mengingkarinya.
4. Ath-Thabarani meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah bersabda:
“إِنَّ للهِ مَلاَئِكَةً فِيْ الأَرْضِ سِوَى الْحَفَظَةِ يَكْتُبُوْنَ مَا يَسْقُطُ مِنْ وَرَقِ الشَّجَرِ فَإِذَا أَصَابَ أَحَدَكُمْ عَرْجَةٌ بِأَرْضٍ فَلاَةٍ فَلْيُنَادِ أَعِيْنُوْا عِبَادَ اللهِ” رواه الطّبَرَانِيّ وقال الحافظ الهيثميّ: رجاله ثقات ورواه أيضا البزّار وابن السُّنِّيِّ.
Maknanya: “Sesungguhnya Tuhan mempunyai para malaikat di bumi selain hafazhah yang menulis daun-daun yang berguguran, maka bila kalian ditimpa kesulitan di suatu padang maka hendaklah mengatakan: tolonglah aku, wahai para hamba Allah” (H.R. ath-Thabarani dan al Hafizh al Haytsami mengatakan: perawi-perawinya terpercaya, juga diriwayatkan oleh al Bazzar dan Ibnu as-Sunni)
Faedah Hadits: Hadits ini memberikan dibolehkannya beristi’anah dan beristighatsah dengan selain Allah, yaitu para shalihin meskipun tidak di hadapan mereka dengan redaksi Nida’ (memanggil). An-Nawawi sehabis menyebutkan riwayat Ibnu as-Sunni dalam kitabnya al Adzkar mengatakan: “Sebagian dari guru-guruku yang sangat alim pernah menceritakan bahwa pernah suatu dikala lepas binatang tunggangannya dan ia mengetahui hadits ini kemudian ia mengucapkannya maka seketika binatang tunggangan tersebut berhenti berlari, Saya-pun suatu dikala bersama suatu jama’ah kemudian terlepas seekor binatang mereka dan mereka bersusah payah berusaha menangkapnya dan tidak berhasil kemudian saya mengatakannya dan seketika binatang tersebut berhenti tanpa lantaran kecuali ucapan tersebut”. Ini memberikan bahwa mengucapkan tawassul dan istighatsah tersebut yaitu amalan para ulama andal hadits dan yang lainnya.
5. Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dengan sanad yang hasan sebagaimana dikatakan oleh al Hafizh Ibnu Hajar bahwa al Harits ibn Hassan al Bakri berkata kepada Rasulullah:
” أَعُوْذُ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ أَنْ أَكُوْنَ كَوَافِدِ عَادٍ”
Maknanya: “Aku berlindung kepada Tuhan dan Rasul-Nya dari menjadi ibarat utusan kaum ‘Aad (utusan yang yustru menghancurkan kaumnya sendiri yang mengutusnya)” (H.R. Ahmad)
Faedah Hadits: Hadits ini memberikan dibolehkannya bertawassul dan beristighatsah meskipun dengan lafazh al Isti’adzah. Dalam hadits ini al Harits ibn Hassan al Bakri memohon derma (beristi’adzah) kepada Tuhan lantaran Tuhan yaitu yang dimohoni derma secara hakiki (Musta’adz bihi haqiqi), sedangkan dikala ia memohon derma kepada Rasulullah lantaran Rasulullah yaitu yang dimohoni derma dengan makna lantaran (Musta’adz bihi ‘ala ma’na annahu sabab). Rasulullah tidak mengkafirkannya, tidak memusyrikkannya bahkan tidak mengingkarinya sama sekali, padahal kita tahu bahwa Rasulullah tidak akan pernah mendiamkan terjadinya perkara mungkar sekecil apapun. Dalam hadits ini Rasulullah tidak mengatakan: “Engkau telah musyrik lantaran mengatakan: (وَرَسُوْلِهِ), lantaran engkau telah beristi’adzah kepadaku”.
6. Al Bazzar meriwayatkan hadits Rasulullah:
“حَيَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ وَمَمَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ، تُحْدِثُوْنَ وَيُحْدَثُ لَكُمْ، وَوَفَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ تُعْرَضُ عَلَيَّ أَعْمَالُكُمْ، فَمَا رَأَيْتُ مِنْ خَيْرٍ حَمِدْتُ اللهَ عَلَيْهِ وَمَا رَأَيْتُ مِنْ شَرٍّ اسْتَغْفَرْتُ لَكُمْ” رواه البزّار ورجاله رجال الصحيح
Maknanya: “Hidupku yaitu kebaikan bagi kalian dan matiku yaitu kebaikan bagi kalian, dikala saya hidup kalian melaksanakan banyak hal kemudian dijelaskan hukumnya bagi kalian melalui aku. Matiku juga kebaikan bagi kalian, diberitahukan kepadaku amal perbuatan kalian, bila saya melihat amal kalian baik maka saya memuji Tuhan karenanya dan bila saya melihat ada amal kalian yang jelek saya memohonkan ampun untuk kalian kepada Allah” (H.R. al Bazzar dan para perawinya yaitu para perawi sahih)
Faedah Hadits: Hadits ini memberikan bahwa meskipun sudah meninggal Rasulullah bisa mendoakan atau memohonkan ampun kepada Tuhan untuk ummatnya. Oleh karenanya diperbolehkan bertawassul dengannya, memohon didoakan olehnya meskipun ia sudah meninggal.
7. Hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari dalam kitabnya al Adab al Mufrad dengan sanad yang sahih tanpa ‘illat dari Abdurrahman ibn Sa’d, ia berkata: Suatu dikala kaki Ibnu Umar terkena semacam kelumpuhan (Khadar), maka salah seorang yang hadir mengatakan: sebutkanlah orang yang paling Anda cintai ! kemudian Ibnu Umar mengatakan: Yaa Muhammad. Seketika itu kaki ia sembuh.
Faedah Hadits: Hadits ini memberikan bahwa sahabat Abdullah ibnu Umar melaksanakan Istighatsah dengan Nida’ “Yaa Muhammad (يَا مُحَمَّدُ )”. Makna “يَا مُحَمَّدُ” yaitu أَدْرِكْنِيْ بِدُعَائِكَ إِلَى اللهِ: tolonglah saya dengan doamu kepada Allah. Hal ini dilakukan sehabis Rasulullah wafat. Ini memberikan bahwa boleh beristighatsah dan bertawassul dengan Rasulullah sehabis ia wafat, meskipun dengan memakai redaksi Nida’, jadi Nida’ al Mayyit (memanggil seorang nabi dan wali yang telah meninggal) bukan syirik.
8. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi Musa berdoa :
” رَبِّ أَدْنِنِيْ مِنَ الأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ رَمْيَةً بِحَجَرٍ”.
Maknanya: “Ya Tuhan dekatkanlah saya ke Tanah Bayt al Maqdis meskipun sejauh lemparan batu”.
Kemudian Rasulullah bersabda :
“وَاللهِ لَوْ أَنِّيْ عِنْدَهُ لَأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ إِلَى جَنْبِ الطَّرِيْقِ عِنْدَ الكَثِيْبِ الأَحْمَرِ” أخرجه البخاريّ ومسلم
Maknanya : “Demi Allah, bila saya berada di bersahabat kuburan Nabi Musa pasti akan saya perlihatkan kuburannya kepada kalian di samping jalan di kawasan al Katsib al Ahmar” (H.R. al Bukhari dan Muslim)
Faedah Hadits: Tentang hadits ini al Hafizh Waliyyuddin al ‘Iraqi berkata dalam kitabnya “Tharh at-Tatsrib”: “Dalam hadits ini terdapat dalil kesunnahan untuk mengetahui kuburan orang-orang yang saleh untuk berziarah ke sana dan memenuhi hak-haknya”.
Dan telah menjadi tradisi di kalangan para ulama Salaf dan Khalaf bahwa dikala mereka menghadapi kesulitan atau ada keperluan mereka mendatangi kuburan orang-orang saleh untuk berdoa di sana dan mengambil berhaknya dan setelahnya permohonan mereka dikabulkan oleh Allah. Al Imam asy-Syafi’i dikala ada hajat yang ingin dikabulkan seringkali mendatangi kuburan Abu Hanifah dan berdoa di sana dan setelahnya dikabulkan doanya oleh Allah. Abu ‘Ali al Khallal mendatangi kuburan Musa ibn Ja’far. Ibrahim al Harbi, al Mahamili mendatangi kuburan Ma’ruf al Karkhi sebagaimana diriwayatkan oleh al Hafizh al Khathib al Baghdadi dalam kitabnya “Tarikh Baghdad”. Karena itu para andal hadits ibarat al Hafizh Syamsuddin Ibn al Jazari menyampaikan dalam kitabnya ‘Uddah al Hishn al Hashin :
“وَمِنْ مَوَاضِعِ إِجَابَةِ الدُّعَاءِ قُبُوْرُ الصَّالِـحِيْنَ”.
“Di antara tempat dikabulkannya doa yaitu kuburan orang-orang yang saleh “.
Al Hafizh Ibn al Jazari sendiri sering mendatangi kuburan Imam Muslim ibn al Hajjaj, penulis Sahih Muslim dan berdoa di sana sebagaimana disebutkan oleh Syekh Ali al Qari dalam Syarh al Misykat.
KISAH TELADAN
Al Hafizh Abdurrahman ibn al Jawzi menyebutkan sebuah kisah dalam kitabnya
“Al Wafa bi Ahwal al Mushthafa” –kisah ini juga dituturkan oleh al Hafizh adl-Dliya’ al Maqdisi – bahwa Abu Bakr al Minqari berkata: “Adalah aku, ath-Thabarani dan Abu asy-Syaikh berada di Madinah. Kami dalam suatu keadaan dan kemudian rasa lapar melilit perut kami, pada hari itu kami tidak makan. Ketika tiba waktu Isya’, saya mendatangi makam Rasulullah dan mengadu: “Yaa Rasulallah, al Juu’ al Juu’ (Wahai Rasulullah! lapar…lapar)”, kemudian saya kembali. Abu as-Syaikh berkata kepadaku: “Duduklah, (mungkin) akan ada rizqi atau (kalau tidak, kita akan) mati”.
Abu Bakr melanjutkan kisahnya: “Kemudian saya dan Abu asy-Syaikh beranjak tidur sedangkan ath-Thabarani duduk melihat sesuatu. Tiba-tiba datanglah seorang ‘Alawi (sebutan bagi orang yang mempunyai garis keturunan dengan Ali dan Fatimah) kemudian ia mengetuk pintu dan ternyata ia ditemani oleh dua orang pembantu yang masing-masing membawa panci besar yang di dalamnya ada banyak makanan. Maka kami duduk kemudian makan. Kami mengira sisa masakan akan diambil oleh pembantu itu, tapi ternyata ia meninggalkan kami dan membiarkan sisa masakan itu ada pada kami. Setelah kami simpulan makan, ‘Alawi itu berkata: “Wahai kaum, apakah kalian mengadu kepada Rasulullah?, bahwasanya saya tadi mimpi melihat ia dan ia menyuruhku untuk membawakan sesuatu kepada kalian”.
Dalam kisah ini, secara terperinci dinyatakan bahwa berdasarkan mereka, mendatangi makam Rasulullah untuk meminta pertolongan (al Istighotsah) yaitu boleh dan baik. Siapapun mengetahui bahwa mereka bertiga (terutama, ath-Thabarani, spesialis hadits kenamaan) yaitu ulama–ulama besar Islam. Kisah ini dinukil oleh para ulama termasuk ulama madzhab Hanbali dan lainnya. Mereka ini di mata ummat Islam yaitu Muwahhidun (Ahli Tauhid), bahkan merupakan tokoh-tokoh besar di kalangan para Ahli Tauhid, sedangkan di mata para anti tawassul mereka dianggap sebagai andal bid’ah dan syirik. Padahal kalau mau ditelusuri, peristiwa-peristiwa semacam ini sangatlah banyak ibarat yang disebutkan sebagian pada dalil ke delapan.
Demikian Dalil Hukum Membaca Doa Tawassul berdasarkan Hadits dan Al-Quran
0 Response to "Dalil Aturan Membaca Doa Tawassul Berdasarkan Hadits Dan Al-Quran"
Posting Komentar