Hikmah Tradisi Manfaat Munggahan dalam menyambut datangnya bulan Puasa Ramadhan
Sebentar lagi bulan Ramadhan akan segera tiba , banyak warga masyarakat siap menyambutnya salah satunya Munggahan sebagai bentuk kegembiraan dari masyarakat akan datangnya bulan suci ramadhan.
Munggahan ialah tradisi masyarakat Islam suku Sunda untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan yang dilakukan pada selesai bulan Sya'ban menjelang bulan Ramadhan.
Bentuk pelaksanaannya bervariasi, umumnya berkumpul bersama keluarga dan kerabat, makan bersama (botram), saling bermaafan, dan berdoa bersama. Selain itu, ada pula yang mengunjungi tempat wisata bersama keluarga, berziarah ke makam orang renta atau orang saleh, atau mengamalkan sedekah munggah
Munggahan berasal dari Bahasa Sunda unggah yang berarti naik. Tradisi munggahan dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah, untuk membersihkan diri dari hal-hal yang jelek selama setahun ke sebelumnya dan supaya terhindar dari perbuatan yang tidak baik selama menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Kata munggah memang sangat bersahabat dengan ibadah umat Islam, menyerupai juga sanggup ditemui pada ibadah munggah haji.
Selain itu, bagi masyarakat Islam Sunda, tradisi tersebut juga merupakan bentuk rasa hormat mereka dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan. Karena bulan Ramadhan itu penuh berkah dan ampunan. Dimana ketika bulan Ramadhan Yang Mahakuasa menurunkan rahmat dan pahala berlipat untuk setiap ibadah yang dilakukan insan pada waktu itu.
Nah dalam kaitannya dengan Ramadhan munggah bisa berarti kita masuk ke bulan Ramadhan yang mempunyai banyak sekali keutamaan di banding dengan bulan-bulan lainnya. Pada salah satu malam terakhir sya’ban dalam rangka menyambut bulan Ramadhan, Rosululloh saw memperlihatkan ‘pembekalan’. Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Rasulullah bersabda, “Wahai manusia, bahwasanya kalian akan dinaungi oleh bulan yang senantiasa agung, lagi penuh berkah. Bulan yang di dalamnya ada malam yang lebih baik dari 1000 bulan”.
Selanjutnya Rasulullah bersabda, “Barang siapa mendekatkan diri kepada Yang Mahakuasa dengan suatu perbuatan kebajikan (sunnah), ia akan mendapat pahala menyerupai kalau ia melaksanakan perbuatan wajib pada bulan lain. Barang siapa melaksanakan suatu kewajiban pada bulan (Ramadhan) itu, ia akan mendapat pahala menyerupai kalau ia mengerjakan 70 perbuatan wajib pada bulan yang lain”.
Maka tak heran masyarakat Islam Sunda menyambutnya dengan rasa hormat dan bahagia. Tradisi ini juga salah satu upaya untuk membersihkan diri dan mempersiapkan pelaksanaan ibadah selama bulan Ramadhan nanti.
Bentuk Kegiatan Munggahan
Biasanya Munggahan dilaksanakan satu atau dua hari menjelang bulan Ramadhan. Masyarakat melaksanakan momentum ini dengan banyak sekali macam acara menyerupai program makan bahu-membahu (botram) dengan keluarga, sanak saudara, kerabat dekat, dan tetangga di pegunungan, sawah, dan bukit-bukit. Adapun bentuk acara lain dari tradisi munggahan yaitu ada yang mengunjungi tempat wisata dengan keluarga ataupun program resmi keagamaan, dan ada yang berziarah ke makam wali, kuburan orang tua, syekh dan ulama penyebar Islam di suatu daerah.
Saling memaafkan di antara sesama kaum Muslim terutama dengan kerabat, bermaksud untuk membersihkan jiwa dari segala dosa sesama manusia. Hal itu tercermin pula dalam Alquran sebagai suatu perbuatan untuk menggapai kebahagian, yaitu yang artinya “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu” (Quran surah Asyams).
Selain menyucikan jiwa dari dosa dengan sesama manusia, dengan Yang Maha Kuasa, juga menyucikan fisik yang dianjurkan dalam agama Islam khususnya.
Hal itu sanggup terlihat dalam Alquran yang artinya, “Sesungguhnya Yang Mahakuasa menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (Quran surah Al-baqarah 222).
Intinya sama, yakni untuk mempersiapkan diri memasuki sasih siyam. Warga yang pergi ziarah, umpamanya, bermaksud menyucikan diri dan mengingatkan diri pada kematian. Di suatu kampung ada yang pergi ke sawah untuk botram (makan bersama-sama) bersama warga sekampung. Tapi, kebiasaan ini kini agak sedikit menghilang. Lagi-lagi globalisasi yang dipersalahkan. Kemudian, bagi orang Sunda yang masih kental memegang tradisi dari Islam Jawa, akan melaksanakan prosesi nyadran atau menggelar malam nifsyu syaban. Ya, tujuannya sama yakni untuk bersiap diri menghadapi rongkahna (dahsyatnya) gangguan di bulan Ramadhan.
Dalam tradisi “munggah”, biasanya seluruh anggota keluarga yang berada di luar kota akan berkumpul di tempat orang tuanya yang umumnya berada di pedesaan. Ini dilakukan untuk menjadi keharmonisan korelasi keluarga, menikmati ketika santap sahur bersama yang sangat jarang dilakukan. Namun kini akhir dampak migrasi, tradisi “munggah” tidak lagi dianggap perlu dilakukan di kampung, di kota pun bisa. Misalnya dengan mengunjungi tempat hiburan atau tempat-tempat yang memungkinkan tetap mempertahankan tradisi ini. Kegiatan “munggah” umumnya dilakukan oleh individu, keluarga, dan kelompok masyarakat. Yang biasanya menonjol biasanya berupa acara bersuci atau mandi besar, kemudian tabuhan-tabuhan bedug sesudah salat subuh hingga menjelang malam pertama Ramadhan, dan program membersihkan makam, serta makan bersama.
Dari sekian acara munggahan, yang menonjol dari tradisi ini adalah, program makan bersama yang selalu menjadi sentra perhatian. Tidak jarang pula, setiap kantor-kantor mengadakan program Munggahan ini bersama para karyawannya.
Acara makan ini menjadi sangat menarik, manakala program ini di selenggarakan di tempat-tempat tertentu yang menjadi favoritnya. Seperti di sekitar kebun pinggir sawah, sambil menikmati masakan dan pemandangan serta alam yang indah dan sejuk.
Menu yang biasa disajikan dalam program munggahan ini ialah bakar ikan, dengan embel-embel lalaban, sambal terasi, atau sambal dadak serta nasi liwet yang panas. Lebih enak lagi kalau nasi liwetnya disajikan di atas daun pisang. Dengan begitu, rasa kebersamaannya pun lebih terasa. Itu merupakan sajian yang enak dan menjadi ciri khas ketika berada di kampung.
Makan bersama pada waktu munggah rasanya berbeda dengan hari-hari biasa, lebih spesial. Tentunya masyarakat juga menyiapkan hidangan yang lebih glamor dibanding hari-hari biasa untuk makan sahur pertama. Orang yang kurang bisa banyak juga yang memaksakan untuk membeli lauk yang sedikit lebih glamor sebab mereka menganggap setahun sekali tidak apa-apa makan mewah. Bahkan ada yang rela untuk berhutang kepada tetangganya. Bisa terlihat bagaimana antusias masyarakat pada tradisi munggahan ini. Karena itulah tradisi ini perlu dipelihara, jangan hingga pudar di makan zaman.
Hukum Munggahan
Secara sya’ri dalam Islam memang tidak ada tradisi Munggahan bahkan Rasulullah saw tidak melaksanakan hal itu. Mungkin hikmah yang bisa kita ambil ialah saling memaafkan membersihkan diri menyambut bulan penuh Rahmat bulan Ramadhan .
Meskipun tradisi Munggahan tidak dicontohkan oleh Rasululloh saw, tapi keberadaan tradisi ini sangat diakui oleh masyarakat. Khususnya masyarakat di tatar sunda. Tradisi ini sudah menjadi kebiasaan yang membudaya dikalangan masyarakat dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan. Hal ini tidak ada persoalan selagi acara munggahan diisi dengan hal-hal yang konkret dan tidak bertentangan dengan agama.
Ini hanya sebuah tradisi, terlepas apakah sesuai dengan hukum agama atau tidak. Tapi yang terang Munggahan ini sudah ada semenjak zaman dulu, dan tidak tahu siapa yang memulainya. Dan paling penting kita harus memelihara tradisi ini supaya tetap berkembang dari generasi ke generasi.
Manfaat Tradisi Munggahan
Tradisi munggahan bukan hanya sebuah kebiasaan yang sudah menjadi budaya bagi masyarakat sunda. Tradisi munggahan memperlihatkan banyak manfaat dan makna bagi mereka diantaranya ;
1. Dapat mempererat silaturahmi baik dengan keluarga, teman, sahabat, kerabat, saudara bahkan juga dengan tetangga kita sendiri.
2. Dapat bersilaturahmi, kita juga sanggup saling memaafkan sehingga kita mempunyai hati yang higienis untuk memulai ibadah puasa.
3. Kita juga bisa memperlihatkan kebutuhan pokok pada warga miskin tanpa membeda-bedakan untuk dipakai pada hari pertama menjalankan puasa. Selain itu juga merupakan bentuk rasa syukur kita kepada Yang Mahakuasa SWT.
Munggahan kalau direnungkan akan mempererat rasa kolektif antar insan hingga sanggup mengeluarkan diri dari jurang kemiskinan. Tradisi munggahan juga secara praksis sosial ialah salah satu aktus atau habitus yang bakal menaikkan diri kita ke tangga langsung yang sarat nilai-nilai kemanusiaan. Oleh sebab itu, bulan puasa harus dijadikan bulan untuk meninggalkan sikap sombong, pelit, jail, sirik dan fitnah yang merupakan representasi anomali kemanusiaan dalam diri kita.
Sebetulnya makna dari tradisi munggahan ialah untuk introspeksi diri dari segala kesalahan yang sudah pernah kita lakukan sebelumnya, dan semoga sebelum memasuki bulan Ramadhan tersebut, segala kesalahan kita terutama kepada sahabat, sahabat dan keluarga sanggup diampuni. Yang pada karenanya kita memasuki bulan Ramadhan dalam keadaan higienis hati dan higienis diri.
Nilai-nilai yang terkandung dari silaturahmi ini sangatlah penting untuk tetap kita pertahankan bahkan kepada anak cucu kita kelak. Karena menyerupai di zaman kini ini dimana rasa persaudaraan sudah mulai pudar, maka dengan tradisi munggahan ini di harapkan sanggup mempererat silaturahmi diantara kita sebagai umat insan yang mengaku keturunan Nabi Muhammad saw.
Nah, kalau begitu kita akan munggahan di mana? Pulang ke kampung ataukah akan dirayakan di kota ? Yang jelas, di mana pun tempatnya, perlu diingat bahwa munggahan mestinya bisa membuat tenggang rasa dan kolektivisme di tengah-tengah pergaulan sosial. Sebab, munggahan merupakan tradisi lokal yang berdialektika dengan anutan Islam untuk menyadarkan insan bahwa perilakunya harus higienis dari anasir-anasir yang bisa mengotori jiwa.
Artinya, puasa harus dijadikan medium untuk mengempati penderitaan orang lain hingga engkau (si miskin) ialah saya (yang mencicipi penderitaan fakir miskin). Itulah inti dari munggahan yakni mempersiapkan diri untuk ngunggahkeun langsung ke posisi yang dihiasi rasa tenggang rasa dan kolektivisme. Sebab, Tuhan mewajibkan hamba-Nya berpuasa di bulan bulan mulia untuk menyadarkan bahwa kita harus terus mencicipi dan menanggulangi penderitaan sesama.
Secara harfiah, munggah berarti `menyambut hari pertama puasa'. Biasanya pada malam munggah (munggahan), anggota keluarga, terutama yang sedang merantau, kerap menyempatkan diri untuk mudik. Munggahan bukan sekadar sahur ber sama. Ada silaturahim, berdoa ber sama, saling mengingatkan untuk membersihkan diri, dan mengamalkan sidekah munggah (sedekah pada sehari menjelang bulan puasa).“Keluarga itu inti dari kehidupan.Tanpa keluarga (baik dekat maupun jauh) kita seakan bisa hilang arah.Bagi saya, keluarga itu penting,“ terang Hassan.Membersihkan diri Kata munggah memang sangat bersahabat dengan ibadah umat Islam, menyerupai juga sanggup ditemui pada ibadah munggah haji. Tradisi itu juga menjadi salah satu langkah untuk membersihkan diri dan mempersiapkan pelaksanaan ibadah selama bulan mulia nanti.
Secara etimologis, munggahan berasal dari kata unggah yang berarti mancat atau `memasuki tempat yang agak tinggi'. Bisa diartikan bebas bahwa munggah berarti hari pertama puasa pada 1 Ramadan.
Seiring dengan perkembangan zaman, munggahan hanya diartikan sebagai makan-makan atau kumpulkumpul bersama keluarga atau sahabat dalam menyambut Ramadan. Namun, tak jarang yang orang Sunda yang merantau di luar pulau atau luar negeri kerap tidak bisa pulang untuk munggahan sebab waktu dan jarak. Untuk menyiasatinya, para perantau pun pulang di ketika Hari Raya Idul Fitri.
Tak diayal, selain makan bersama, ada juga acara lain dalam tradisi munggahan. Aktivitas itu ialah mengikuti pertemuan keagamaan dan berziarah ke makam wali, kuburan orangtua, serta makam ulama penyebar Islam di suatu daerah.
Tradisi munggahan dalam konteks so sial ialah salah kebiasaan untuk men jaga nilai-nilai kemanusiaan.Setiap orang diajarkan untuk meninggalkan sikap sombong, pelit, sirik, dan fitnah yang merupakan representasi sifat dasar manusia.
Pola dan makna dari tradisi munggahan bisa kita maknai sebagai tindakan introspeksi diri. Segala kesalahan kita terutama kepada sahabat, teman, dan keluarga sanggup diampuni sehingga bisa menghindari prasangka jelek selama menjalankan ibadah puasa.
Dengan demikian, tradisi yang terlihat sederhana itu patut kita jaga dan lestarikan, terutama bagi masyarakat di tatar Sunda. Tradisi itu mempunyai banyak manfaat dan makna tersendiri.Menunjukkan rasa senang dan rasa hormat menyambut Ramadan.
Dengan munggahan kita dapat silaturahmi dan sebagai bentuk rasa syukur kita terhadap Yang Mahakuasa SWT, serta memperlihatkan rasa bahagia, rasa hormat, dan merupakan antusias kita terhadap datangnya bulan Ramadhan.
Demikian Hikmah Tradisi Manfaat Munggahan dalam menyambut datangnya bulan Puasa Ramadhan
Sebentar lagi bulan Ramadhan akan segera tiba , banyak warga masyarakat siap menyambutnya salah satunya Munggahan sebagai bentuk kegembiraan dari masyarakat akan datangnya bulan suci ramadhan.
Munggahan ialah tradisi masyarakat Islam suku Sunda untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan yang dilakukan pada selesai bulan Sya'ban menjelang bulan Ramadhan.
Bentuk pelaksanaannya bervariasi, umumnya berkumpul bersama keluarga dan kerabat, makan bersama (botram), saling bermaafan, dan berdoa bersama. Selain itu, ada pula yang mengunjungi tempat wisata bersama keluarga, berziarah ke makam orang renta atau orang saleh, atau mengamalkan sedekah munggah
Munggahan berasal dari Bahasa Sunda unggah yang berarti naik. Tradisi munggahan dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah, untuk membersihkan diri dari hal-hal yang jelek selama setahun ke sebelumnya dan supaya terhindar dari perbuatan yang tidak baik selama menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Kata munggah memang sangat bersahabat dengan ibadah umat Islam, menyerupai juga sanggup ditemui pada ibadah munggah haji.
Selain itu, bagi masyarakat Islam Sunda, tradisi tersebut juga merupakan bentuk rasa hormat mereka dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan. Karena bulan Ramadhan itu penuh berkah dan ampunan. Dimana ketika bulan Ramadhan Yang Mahakuasa menurunkan rahmat dan pahala berlipat untuk setiap ibadah yang dilakukan insan pada waktu itu.
Nah dalam kaitannya dengan Ramadhan munggah bisa berarti kita masuk ke bulan Ramadhan yang mempunyai banyak sekali keutamaan di banding dengan bulan-bulan lainnya. Pada salah satu malam terakhir sya’ban dalam rangka menyambut bulan Ramadhan, Rosululloh saw memperlihatkan ‘pembekalan’. Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Rasulullah bersabda, “Wahai manusia, bahwasanya kalian akan dinaungi oleh bulan yang senantiasa agung, lagi penuh berkah. Bulan yang di dalamnya ada malam yang lebih baik dari 1000 bulan”.
Selanjutnya Rasulullah bersabda, “Barang siapa mendekatkan diri kepada Yang Mahakuasa dengan suatu perbuatan kebajikan (sunnah), ia akan mendapat pahala menyerupai kalau ia melaksanakan perbuatan wajib pada bulan lain. Barang siapa melaksanakan suatu kewajiban pada bulan (Ramadhan) itu, ia akan mendapat pahala menyerupai kalau ia mengerjakan 70 perbuatan wajib pada bulan yang lain”.
Maka tak heran masyarakat Islam Sunda menyambutnya dengan rasa hormat dan bahagia. Tradisi ini juga salah satu upaya untuk membersihkan diri dan mempersiapkan pelaksanaan ibadah selama bulan Ramadhan nanti.
Bentuk Kegiatan Munggahan
Biasanya Munggahan dilaksanakan satu atau dua hari menjelang bulan Ramadhan. Masyarakat melaksanakan momentum ini dengan banyak sekali macam acara menyerupai program makan bahu-membahu (botram) dengan keluarga, sanak saudara, kerabat dekat, dan tetangga di pegunungan, sawah, dan bukit-bukit. Adapun bentuk acara lain dari tradisi munggahan yaitu ada yang mengunjungi tempat wisata dengan keluarga ataupun program resmi keagamaan, dan ada yang berziarah ke makam wali, kuburan orang tua, syekh dan ulama penyebar Islam di suatu daerah.
Saling memaafkan di antara sesama kaum Muslim terutama dengan kerabat, bermaksud untuk membersihkan jiwa dari segala dosa sesama manusia. Hal itu tercermin pula dalam Alquran sebagai suatu perbuatan untuk menggapai kebahagian, yaitu yang artinya “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu” (Quran surah Asyams).
Selain menyucikan jiwa dari dosa dengan sesama manusia, dengan Yang Maha Kuasa, juga menyucikan fisik yang dianjurkan dalam agama Islam khususnya.
Hal itu sanggup terlihat dalam Alquran yang artinya, “Sesungguhnya Yang Mahakuasa menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (Quran surah Al-baqarah 222).
Intinya sama, yakni untuk mempersiapkan diri memasuki sasih siyam. Warga yang pergi ziarah, umpamanya, bermaksud menyucikan diri dan mengingatkan diri pada kematian. Di suatu kampung ada yang pergi ke sawah untuk botram (makan bersama-sama) bersama warga sekampung. Tapi, kebiasaan ini kini agak sedikit menghilang. Lagi-lagi globalisasi yang dipersalahkan. Kemudian, bagi orang Sunda yang masih kental memegang tradisi dari Islam Jawa, akan melaksanakan prosesi nyadran atau menggelar malam nifsyu syaban. Ya, tujuannya sama yakni untuk bersiap diri menghadapi rongkahna (dahsyatnya) gangguan di bulan Ramadhan.
Dalam tradisi “munggah”, biasanya seluruh anggota keluarga yang berada di luar kota akan berkumpul di tempat orang tuanya yang umumnya berada di pedesaan. Ini dilakukan untuk menjadi keharmonisan korelasi keluarga, menikmati ketika santap sahur bersama yang sangat jarang dilakukan. Namun kini akhir dampak migrasi, tradisi “munggah” tidak lagi dianggap perlu dilakukan di kampung, di kota pun bisa. Misalnya dengan mengunjungi tempat hiburan atau tempat-tempat yang memungkinkan tetap mempertahankan tradisi ini. Kegiatan “munggah” umumnya dilakukan oleh individu, keluarga, dan kelompok masyarakat. Yang biasanya menonjol biasanya berupa acara bersuci atau mandi besar, kemudian tabuhan-tabuhan bedug sesudah salat subuh hingga menjelang malam pertama Ramadhan, dan program membersihkan makam, serta makan bersama.
Dari sekian acara munggahan, yang menonjol dari tradisi ini adalah, program makan bersama yang selalu menjadi sentra perhatian. Tidak jarang pula, setiap kantor-kantor mengadakan program Munggahan ini bersama para karyawannya.
Acara makan ini menjadi sangat menarik, manakala program ini di selenggarakan di tempat-tempat tertentu yang menjadi favoritnya. Seperti di sekitar kebun pinggir sawah, sambil menikmati masakan dan pemandangan serta alam yang indah dan sejuk.
Menu yang biasa disajikan dalam program munggahan ini ialah bakar ikan, dengan embel-embel lalaban, sambal terasi, atau sambal dadak serta nasi liwet yang panas. Lebih enak lagi kalau nasi liwetnya disajikan di atas daun pisang. Dengan begitu, rasa kebersamaannya pun lebih terasa. Itu merupakan sajian yang enak dan menjadi ciri khas ketika berada di kampung.
Makan bersama pada waktu munggah rasanya berbeda dengan hari-hari biasa, lebih spesial. Tentunya masyarakat juga menyiapkan hidangan yang lebih glamor dibanding hari-hari biasa untuk makan sahur pertama. Orang yang kurang bisa banyak juga yang memaksakan untuk membeli lauk yang sedikit lebih glamor sebab mereka menganggap setahun sekali tidak apa-apa makan mewah. Bahkan ada yang rela untuk berhutang kepada tetangganya. Bisa terlihat bagaimana antusias masyarakat pada tradisi munggahan ini. Karena itulah tradisi ini perlu dipelihara, jangan hingga pudar di makan zaman.
Hukum Munggahan
Secara sya’ri dalam Islam memang tidak ada tradisi Munggahan bahkan Rasulullah saw tidak melaksanakan hal itu. Mungkin hikmah yang bisa kita ambil ialah saling memaafkan membersihkan diri menyambut bulan penuh Rahmat bulan Ramadhan .
Meskipun tradisi Munggahan tidak dicontohkan oleh Rasululloh saw, tapi keberadaan tradisi ini sangat diakui oleh masyarakat. Khususnya masyarakat di tatar sunda. Tradisi ini sudah menjadi kebiasaan yang membudaya dikalangan masyarakat dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan. Hal ini tidak ada persoalan selagi acara munggahan diisi dengan hal-hal yang konkret dan tidak bertentangan dengan agama.
Ini hanya sebuah tradisi, terlepas apakah sesuai dengan hukum agama atau tidak. Tapi yang terang Munggahan ini sudah ada semenjak zaman dulu, dan tidak tahu siapa yang memulainya. Dan paling penting kita harus memelihara tradisi ini supaya tetap berkembang dari generasi ke generasi.
Manfaat Tradisi Munggahan
Tradisi munggahan bukan hanya sebuah kebiasaan yang sudah menjadi budaya bagi masyarakat sunda. Tradisi munggahan memperlihatkan banyak manfaat dan makna bagi mereka diantaranya ;
1. Dapat mempererat silaturahmi baik dengan keluarga, teman, sahabat, kerabat, saudara bahkan juga dengan tetangga kita sendiri.
2. Dapat bersilaturahmi, kita juga sanggup saling memaafkan sehingga kita mempunyai hati yang higienis untuk memulai ibadah puasa.
3. Kita juga bisa memperlihatkan kebutuhan pokok pada warga miskin tanpa membeda-bedakan untuk dipakai pada hari pertama menjalankan puasa. Selain itu juga merupakan bentuk rasa syukur kita kepada Yang Mahakuasa SWT.
Munggahan kalau direnungkan akan mempererat rasa kolektif antar insan hingga sanggup mengeluarkan diri dari jurang kemiskinan. Tradisi munggahan juga secara praksis sosial ialah salah satu aktus atau habitus yang bakal menaikkan diri kita ke tangga langsung yang sarat nilai-nilai kemanusiaan. Oleh sebab itu, bulan puasa harus dijadikan bulan untuk meninggalkan sikap sombong, pelit, jail, sirik dan fitnah yang merupakan representasi anomali kemanusiaan dalam diri kita.
Sebetulnya makna dari tradisi munggahan ialah untuk introspeksi diri dari segala kesalahan yang sudah pernah kita lakukan sebelumnya, dan semoga sebelum memasuki bulan Ramadhan tersebut, segala kesalahan kita terutama kepada sahabat, sahabat dan keluarga sanggup diampuni. Yang pada karenanya kita memasuki bulan Ramadhan dalam keadaan higienis hati dan higienis diri.
Nilai-nilai yang terkandung dari silaturahmi ini sangatlah penting untuk tetap kita pertahankan bahkan kepada anak cucu kita kelak. Karena menyerupai di zaman kini ini dimana rasa persaudaraan sudah mulai pudar, maka dengan tradisi munggahan ini di harapkan sanggup mempererat silaturahmi diantara kita sebagai umat insan yang mengaku keturunan Nabi Muhammad saw.
Nah, kalau begitu kita akan munggahan di mana? Pulang ke kampung ataukah akan dirayakan di kota ? Yang jelas, di mana pun tempatnya, perlu diingat bahwa munggahan mestinya bisa membuat tenggang rasa dan kolektivisme di tengah-tengah pergaulan sosial. Sebab, munggahan merupakan tradisi lokal yang berdialektika dengan anutan Islam untuk menyadarkan insan bahwa perilakunya harus higienis dari anasir-anasir yang bisa mengotori jiwa.
Artinya, puasa harus dijadikan medium untuk mengempati penderitaan orang lain hingga engkau (si miskin) ialah saya (yang mencicipi penderitaan fakir miskin). Itulah inti dari munggahan yakni mempersiapkan diri untuk ngunggahkeun langsung ke posisi yang dihiasi rasa tenggang rasa dan kolektivisme. Sebab, Tuhan mewajibkan hamba-Nya berpuasa di bulan bulan mulia untuk menyadarkan bahwa kita harus terus mencicipi dan menanggulangi penderitaan sesama.
Secara harfiah, munggah berarti `menyambut hari pertama puasa'. Biasanya pada malam munggah (munggahan), anggota keluarga, terutama yang sedang merantau, kerap menyempatkan diri untuk mudik. Munggahan bukan sekadar sahur ber sama. Ada silaturahim, berdoa ber sama, saling mengingatkan untuk membersihkan diri, dan mengamalkan sidekah munggah (sedekah pada sehari menjelang bulan puasa).“Keluarga itu inti dari kehidupan.Tanpa keluarga (baik dekat maupun jauh) kita seakan bisa hilang arah.Bagi saya, keluarga itu penting,“ terang Hassan.Membersihkan diri Kata munggah memang sangat bersahabat dengan ibadah umat Islam, menyerupai juga sanggup ditemui pada ibadah munggah haji. Tradisi itu juga menjadi salah satu langkah untuk membersihkan diri dan mempersiapkan pelaksanaan ibadah selama bulan mulia nanti.
Secara etimologis, munggahan berasal dari kata unggah yang berarti mancat atau `memasuki tempat yang agak tinggi'. Bisa diartikan bebas bahwa munggah berarti hari pertama puasa pada 1 Ramadan.
Seiring dengan perkembangan zaman, munggahan hanya diartikan sebagai makan-makan atau kumpulkumpul bersama keluarga atau sahabat dalam menyambut Ramadan. Namun, tak jarang yang orang Sunda yang merantau di luar pulau atau luar negeri kerap tidak bisa pulang untuk munggahan sebab waktu dan jarak. Untuk menyiasatinya, para perantau pun pulang di ketika Hari Raya Idul Fitri.
Tak diayal, selain makan bersama, ada juga acara lain dalam tradisi munggahan. Aktivitas itu ialah mengikuti pertemuan keagamaan dan berziarah ke makam wali, kuburan orangtua, serta makam ulama penyebar Islam di suatu daerah.
Tradisi munggahan dalam konteks so sial ialah salah kebiasaan untuk men jaga nilai-nilai kemanusiaan.Setiap orang diajarkan untuk meninggalkan sikap sombong, pelit, sirik, dan fitnah yang merupakan representasi sifat dasar manusia.
Pola dan makna dari tradisi munggahan bisa kita maknai sebagai tindakan introspeksi diri. Segala kesalahan kita terutama kepada sahabat, teman, dan keluarga sanggup diampuni sehingga bisa menghindari prasangka jelek selama menjalankan ibadah puasa.
Dengan demikian, tradisi yang terlihat sederhana itu patut kita jaga dan lestarikan, terutama bagi masyarakat di tatar Sunda. Tradisi itu mempunyai banyak manfaat dan makna tersendiri.Menunjukkan rasa senang dan rasa hormat menyambut Ramadan.
Dengan munggahan kita dapat silaturahmi dan sebagai bentuk rasa syukur kita terhadap Yang Mahakuasa SWT, serta memperlihatkan rasa bahagia, rasa hormat, dan merupakan antusias kita terhadap datangnya bulan Ramadhan.
Demikian Hikmah Tradisi Manfaat Munggahan dalam menyambut datangnya bulan Puasa Ramadhan
0 Response to "Hikmah Tradisi Manfaat Munggahan Dalam Menyambut Datangnya Bulan Berkat Ramadhan"
Posting Komentar