Abu Hurairah radhiallahu ‘anha berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا،وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ،فَقَالَ }يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ{ وَقاَلَ: }يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُلُوْا مِنْ طَيِّبَاتِ مَارَزَقْنَاكُمْ{ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَأَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ، يَا رَبِّ!وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَبِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Tuhan itu Mahabaik, Dia tidak mendapatkan kecuali yang baik. Tuhan subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada kaum mukminin sebagaimana yang Dia perintahkan kepada para rasul. Dia berfirman, ‘Wahai para rasul, makanlah makanan yang baik (halal) dan berinfak salehlah kalian.’ (al-Mu’minun: 51)
Dan Dia berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman, makanlah makanan yang baik (halal) dari apa yang telah Kami rezekikan kepada kalian’.” (al-Baqarah: 172)
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan perihal seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan (safar) yang panjang hingga rambutnya kusut masai lagi berdebu. Orang itu berdoa dengan menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berseru, ‘Wahai Rabbku, wahai Rabbku.’ Sementara makanan, minuman, dan pakaiannya haram serta dia diberi makan dengan yang haram, maka bagaimana doanya akan dikabulkan?”
Seputar Sanad Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam Muslim rahimahullah dalam Shahih-nya (no. 1015) dari riwayat Fudhail bin Marzuq, dari ‘Adi bin Tsabit, dari Abi Hazim, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. Diriwayatkan pula oleh al-Imam at-Tirmidzirahimahullah dalam Sunan-nya (no. 4074), Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya (2/328), dan ad-Darimi rahimahullahdalam Sunan-nya (no. 2601).
Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata ketika meriwayatkan hadits tersebut, “Hadits ini hasan gharib. Kami mengetahui hadits ini hanya dari Fudhail bin Marzuq.” (Sunan at-Tirmidzi, 4/288)
Hadits ini hasan disebabkan pembicaraan terhadap rawi Fudhail bin Marzuq, walaupun sebagian para imam mentsiqahkan Fudhail, menyerupai di antaranya Sufyan bin ‘Uyainah, ats-Tsauri, dan satu riwayat dari Ibnu Ma’in.
Ahmad rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui tentangnya kecuali kebaikan.”
Ibnu ‘Adi berkata, “Aku berharap tidak ada permasalahan pada dirinya.”
Namun sebagian yang lain mendha’ifkannya (melemahkannya) menyerupai al-Imam an-Nasa’i, ‘Utsman bin Sa’id, dan satu riwayat dari Ibnu Ma’in.
Ibnu Hibban rahimahullah berkata, “Sangat mungkar haditsnya, Fudhail termasuk orang yang melaksanakan kesalahan dalam periwayatannya terhadap tsiqat. Dia meriwayatkan hadits-hadits palsu dari ‘Athiyyah.”
Al-Hakim berkata, “Fudhail bukan perawi yang memenuhi syarat Kitabush Shahih. Al-Imam Muslim rahimahullah dicacat karena meriwayatkan darinya dalam kitab Shahih-nya.”
Al-Hafizh rahimahullah berkata, “Orang yang jujur tapi terkadang keliru.”
Dengan pembicaraan di atas, maka hukum hadits dengan perawi menyerupai ini ialah hasan, sebagaimana pula dikatakan oleh al-Imam al-Albani rahimahullah dalam Ghayatul Maram, “Semisal Fudhail, maka yang paling baik keadaannya ialah haditsnya dihasankan dan bukan disahihkan. Sungguh hal ini telah diisyaratkan oleh al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullahdalam Jami’ul ‘Ulum.”
Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah berkata, “Dia rawi yang tsiqah (tepercaya) lagi pertengahan. Al-Imam Muslim meriwayatkan haditsnya, sedangkan al-Imam al-Bukhari tidak.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/258, Mizanul I’tidal, 5/440, al-Mughni fidh Dhu’afa, 2/515, Tahdzibut Tahdzib, 8/268, Taqribut Tahdzib, hlm. 384, Ghayatul Maram, hlm. 30)
Kedudukan Hadits
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini ialah satu dari sekian hadits yang merupakan kaidah dan bangunan hukum Islam…. Hadits mengandung ajuan untuk berinfak dari harta yang halal dan larangan berinfak dari apa yang tidak halal. Disebutkan pula dalam hadits ini bahwa makanan, minuman, pakaian, dan yang semisalnya, sepantasnya diperoleh dari apa yang terang kehalalannya, tidak ada syubhat di dalamnya, dan orang yang hendak berdoa lebih utama untuk memerhatikan hal ini.” (Syarah Shahih Muslim, 7/100)
Hadits ini juga merupakan salah satu dari pokok-pokok agama karena banyak hukum agama yang berporos di atasnya. (kaset Durus al-Arba‘in an-Nawawiyyah, asy-Syaikh Shalih Alusy-Syaikh)
Mahalnya Nilai Kehalalan
Di dalam hadits yang mulia ini disebutkan bahwa Tuhan subhanahu wa ta’ala itu thayyib, yang maknanya di sini Allahsubhanahu wa ta’ala disucikan dari segala sifat kekurangan dan malu (celaan). Bagi-Nya banyak sekali macam kesempurnaan dalam ucapan dan perbuatan. Maka ucapan-Nya ialah sebaik-baik ucapan dan seluruh perbuatan-Nya ialah kebaikan yang penuh dengan hikmah. Sementara kejelekan itu tidaklah disandarkan kepada perbuatan-Nya.
Tuhan subhanahu wa ta’ala kalau dikembalikan pada Dzat-Nya, pada nama dan sifat-Nya, maka Dia itu thayyib. Oleh karena itu, hanya Dialah yang berhak untuk mendapatkan ibadah, tidak kepada yang selain-Nya. Hanya kepada-Nyalah satu-satunya yang pantas untuk diarahkan wajah dan hati setiap hamba. (Kaset Durus al-Arba’in, asy-Syaikh Shalih Alusy-Syaikh)
Kita ketahui bahwa yang dikatakan thayyib ialah disucikan dari kekurangan, sementara kekurangan yang paling besar dalam amalan atau perkara paling besar yang dapat mengurangi amalan ialah bila (amalan tersebut) ditujukan kepada selain Tuhan subhanahu wa ta’ala serta dimaksudkan untuk mendapatkan kepentingan dunia.
Karena Tuhan subhanahu wa ta’ala thayyib dengan makna yang telah disebutkan di atas, maka Tuhan subhanahu wa ta’alatidak mendapatkan sesuatu kecuali yang baik dan tidak sepantasnya mendekatkan diri kepada-Nya kecuali dengan apa yang sesuai dan mencocoki makna thayyib tersebut. (Tuhfatul Ahwadzi, 8/266)
Dengan demikian, tidak pantas seorang hamba mendekatkan diri kepada-Nya dengan bersedekah dari harta yang haram, sedangkan Tuhan subhanahu wa ta’ala sendiri tidak mendapatkan sedekah yang demikian sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةً بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُولٍ
“Allah tidak mendapatkan shalat tanpa bersuci (wudhu) dan tidak mendapatkan sedekah dari hasil berbuat ghulul.” (Sahih, HR. Muslim no. 224)
Demikian pula dibencinya mengeluarkan sedekah dari barang yang jelek. Tuhan subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا كَسَبۡتُمۡ وَمِمَّآ أَخۡرَجۡنَا لَكُم مِّنَ ٱلۡأَرۡضِۖ وَلَا تَيَمَّمُواْ ٱلۡخَبِيثَ مِنۡهُ تُنفِقُونَ وَلَسۡتُم بَِٔاخِذِيهِ إِلَّآ أَن تُغۡمِضُواْ فِيهِۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ ٢٦٧
“Wahai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah di jalan Tuhan sebagian dari hasil usaha kalian yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kalian. Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk lalu kalian menafkahkannya, padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, Tuhan Mahakaya lagi Maha Terpuji.” (al-Baqarah: 267)
Sebagaimana Tuhan subhanahu wa ta’ala tidak mendapatkan sedekah kecuali dari harta yang baik, demikian pula Dia tidak mendapatkan amalan lainnya kecuali bila amalan itu baik, bersih dari noda riya, ‘ujub (bangga/kagum terhadap diri sendiri), sum‘ah (beramal ingin didengar orang lain), dan semisalnya. Tuhan subhanahu wa ta’ala tidak mendapatkan kecuali perkataan, amalan, dan keyakinan yang baik, yang mencocoki syariat, sesuai dengan tata cara yang diterapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan dalil yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah dia shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Syarhul Arba‘in, hlm. 44 )
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa amalan yang baik ialah amalan yang tulus karena Allahsubhanahu wa ta’ala dan mencocoki syariat. (Kaset Syarhul Arba’in)
Di dalam hadits disebutkan lafadz لاَ يَقْبَلُ (tidak menerima), sementara maknanya ialah Tuhan subhanahu wa ta’ala tidak memberi pahala dan ganjaran terhadap pelakunya, Tuhan subhanahu wa ta’ala tidak ridha, tidak memuji, menyanjung, dan membanggakannya di hadapan para malaikat-Nya. (Jami’ul ‘Ulum, 1/262, Qawa’id wa Fawa’id, hlm. 114)
Hadits ini menunjukkan sebetulnya amalan itu tidak diterima kecuali dengan memakan makanan yang halal, sementara memakan makanan yang haram akan merusak amalan serta mencegah diterimanya amalan tersebut. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/210)
Termasuk karena terbesar yang mampu membantu seorang hamba untuk memperbaiki amalannya ialah dengan memerhatikan makanan berikut kehalalannya. Karena mengonsumsi makanan yang haram akan merusak amalannya. Karena itulah, Tuhan subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada para rasul dan umat mereka (kaum mukminin) untuk memakan makanan yang halal serta supaya berinfak saleh. Selama makanan yang dimakan itu halal maka amalan saleh yang dilakukan oleh seorang hamba akan diterima. Sebaliknya bila makanan yang dimakan itu haram maka bagaimana mampu diterima amalan saleh yang dilakukan tersebut?
Yang jelas, makanan yang baik dari harta yang halal akan menunjukkan faedah atau pengaruh terhadap ibadah seorang hamba, terhadap doanya dan terhadap penerimaan amalannya di sisi Tuhan subhanahu wa ta’ala. (Jami’ul ‘Ulum, 1/259—260, Syarhul Arba‘in, hlm. 44 dan kaset Durus al-Arba’in, asy-Syaikh Shalih Alusy-Syaikh)
Makanan yang halal juga merupakan pendukung dan karena yang membantu untuk melaksanakan amalan saleh. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/257, Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 81)
Kebanyakan ahlul ilmi mengatakan, “Suatu amalan tidak mampu dinilai sebagai amalan yang saleh hingga pelaksanaannya didapatkan dari harta yang baik.” (Kaset Durus al-Arbai’shallallahu ‘alaihi wa sallam, asy-Syaikh Shalih)
Maka dari itu, shalat tidak mampu teranggap sebagai shalat yang baik hingga di dalamnya ada ucapan yang baik, pakaian yang dikenakan ketika shalat ialah pakaian yang baik, halal, bersih dari najis, dan yang selainnya, dari apa-apa yang mengandung kebajikan. Begitu pun amalan-amalan yang lainnya. Hadits ini hakikatnya menunjukkan peringatan dan bahaya yang keras dari setiap perkataan, amalan, dan keyakinan yang buruk, yang tidak mencocoki syariat.
Penghalang Terkabulnya Doa
Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan perihal seseorang yang melaksanakan perjalanan (safar) yang panjang, yang ia lakukan dalam rangka melaksanakan amalan ketaatan, menyerupai haji, ziarah yang disunnahkan, silaturahmi, dan sebagainya. Namun bersamaan dengan itu, doanya tidaklah dikabulkan karena terhalang oleh makanan, minuman, dan pakaiannya yang haram. Lalu bagaimana dengan doa orang yang karam dalam dunia, hidupnya dipenuhi dengan kezaliman terhadap hamba-hamba Tuhan subhanahu wa ta’ala, atau orang yang lalai dalam melaksanakan banyak sekali macam ibadah dan kebaikan (tanpa memerhatikan kehalalan makanan dan minuman yang masuk ke dalam perutnya, begitu pula kehalalan pakaian yang dikenakannya)?” (Syarah al-Arba’in Haditsan an-Nawawiyyah, hlm. 41)
Dengan demikian, kita pahami bahwa salah satu hal yang dapat mendukung terkabulnya doa seorang hamba ialah memakan makanan yang halal dan menjauhi yang haram. Namun ahlul ilmi berselisih pendapat apakah hal tersebut merupakan syarat atau bukan.
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah menyatakan, “Akan tetapi mampu saja Tuhan subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa hamba-Nya yang bersifat demikian, karena keutamaan, kelembutan, dan kedermawanan-Nya.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 12/86)
Sebagaimana juga orang-orang kafir dan durhaka, Tuhan subhanahu wa ta’ala menunjukkan kepada mereka berupa kenikmatan duniawi. (Muqaddimah Ijtima’il Juyusy, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah)
Memang pengabulan doa itu merupakan sifat Rububiyyah Tuhan subhanahu wa ta’ala menyerupai halnya memberi rezeki kepada hamba-hamba-Nya, mengaruniakan kesehatan kepada mereka, menurunkan hujan, dan semisalnya dari perkara yang mereka butuhkan. Sifat Rububiyyah ini umum ditujukan, baik untuk mukmin maupun kafir. Tuhan subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa orang kafir dan yang sejenis mereka bukan karena mereka pantas untuk mendapatkan pengabulan doa, akan tetapi karena mereka berdoa kepada Tuhan subhanahu wa ta’ala dengan hati yang dipenuhi rasa butuh kepada-Nya bersamaan dengan keadaan mereka yang darurat. (Kaset Durus al-Arba’in, asy-Syaikh Shalihrahimahullah)
Masih banyak lagi perkara yang menghalangi terkabulnya doa menyerupai melaksanakan perkara yang diharamkan/maksiat, meninggalkan kewajiban, meninggalkan amar ma‘ruf nahi mungkar, dan sebagainya. (Jami’ul ‘Ulum, 1/274—275)
Sebab Terkabulnya Doa
Ada empat karena terkabulnya doa yang mampu kita ambil dalam hadits ini:
Pertama: Perjalanan jauh yang ditempuh terlebih lagi dalam waktu yang panjang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٍ لَهُنَّ، لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ: دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدَيْنِ عَلَى وَلَدِهِمَا
“Ada tiga doa yang mustajab (dikabulkan) tanpa diragukan: doa orang yang terzalimi, doa musafir, dan doa kedua orang bau tanah untuk kecelakaan anaknya.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 32, 481 dan dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah)
Kedua: Berpakaian lusuh dan usang disertai rambut yang kusut dan berdebu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رُبَّ أَشْعَثَ، مَدْفُوْعٍ بِالْأَبْوَابِ، لَوْ قَسَمَ عَلَى اللهِ لَأَبَرُّهُ
“Boleh jadi seseorang yang berambut kusut yang diusir oleh insan dari pintu-pintu mereka, bila ia bersumpah atas nama Tuhan niscaya Tuhan akan mewujudkannya.” (Sahih, HR. Muslim no. 2622)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Orang ini tidak berharga di mata insan hingga mereka menolaknya dari pintu-pintu mereka serta mengusirnya dengan maksud menghinakannya. Andai orang ini bersumpah supaya terjadi sesuatu niscaya Tuhan subhanahu wa ta’ala akan mewujudkannya dalam rangka memuliakannya dengan mengabulkan permintaannya serta menjaga orang tersebut supaya tidak melanggar sumpahnya. Yang demikian ini disebabkan besarnya kedudukannya di sisi Tuhan subhanahu wa ta’ala walaupun insan memandangnya hina. Bisa juga dengan makna yang lain: Bila orang ini berdoa kepada Tuhan subhanahu wa ta’ala niscaya Tuhan subhanahu wa ta’ala akan mengabulkannya.” (Syarah Shahih Muslim, 16/175)
Demikian pula keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika keluar ke lapangan untuk shalat istisqa’ (untuk meminta hujan kepada Tuhan subhanahu wa ta’ala). Beliau mengenakan pakaian yang sangat sederhana, berjalan dengan tawadhu’, merendahkan dan menghinakan diri di hadapan Tuhan subhanahu wa ta’ala.
Ketiga: Menengadahkan kedua tangan ke langit.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berdoa dalam shalat istisqa’, dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi sehingga terlihat putihnya dua ketiak dia (Sahih, HR. al-Bukhari no. 1031 dan Muslim no. 896 dari hadits Anas radhiallahu ‘anhu)
Demikian pula ketika memohon kemenangan kepada Tuhan subhanahu wa ta’ala dalam Perang Badr melawan musyrikin, dia mengangkat tangannya hingga jatuh rida’ (selendang) dia dari kedua pundaknya. (Sahih, HR. Muslim no. 1763 dari hadits ‘Umar radhiallahu ‘anhu)
Sementara pengangkatan tangan dalam doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kita ketahui ada beberapa cara, di antaranya:
Dengan sekadar mengangkat jari telunjuk. Hal ini dilakukan oleh khatib yang sedang berdiri di atas mimbar atau selainnya, kecuali bila ia berdoa meminta hujan. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berdoa di atas mimbar (Sahih, Muslim no. 874 dari ‘Umarah bin Rabi’ah radhiallahu ‘anha) dan ketika di atas tunggangannya dalam khutbah dia pada haji Wada’ (Sahih, HR. Muslim no. 1763 dari hadits Jabir radhiallahu ‘anhuyang panjang).
Mengangkat tangan dengan tinggi ke langit menyerupai yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika meminta hujan (istisqa’).
Mengangkat tangan dengan menengadahkan telapak tangan ke arah langit dan punggung telapak tangan ke arah bumi, sebagaimana cara ini banyak dilakukan oleh kaum muslimin.
Mengangkat tangan dengan menghadapkan punggung telapak tangan ke langit sebagaimana cara ini disebutkan dalam hadits Anas radhiallahu ‘anhu (dalam istisqa’). (Sahih, Muslim no. 896)
Keempat: Mengulang-ulang dalam berdoa dan menyebut sifat Rububiyyah-Nya serta yakin akan dikabulkannya apa yang diinginkan. Juga bertambah tepat diterimanya doa bila diawali dengan menyebut nama Tuhan “Ar-Rabb”, menyerupai firman Tuhan subhanahu wa ta’ala:
رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي ٱلدُّنۡيَا حَسَنَةٗ وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِ حَسَنَةٗ وَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ ٢٠١
“Wahai Rabb kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta jagalah kami dari api neraka.” (al-Baqarah: 201)
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَآ إِن نَّسِينَآ أَوۡ أَخۡطَأۡنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تَحۡمِلۡ عَلَيۡنَآ إِصۡرٗا كَمَا حَمَلۡتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلۡنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦۖ
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau menghukum kami karena kesalahan yang kami perbuat dikarenakan kami lupa atau kami keliru. Wahai Rabb kami, janganlah engkau pikulkan kepada kami beban yang berat sebagaimana yang telah Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Wahai Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami apa yang kami tidak sanggup untuk memikulnya.” (al-Baqarah: 286)
Sebagian salaf berkata, “Janganlah memperlambat terkabulnya doa. Sungguh kemaksiatan yang engkau buat telah menutup jalan-jalan terkabulnya doa.”
Seorang penyair berkata,
Kita berdoa kepada Tuhan subhanahu wa ta’ala dalam setiap musibah
Kemudian kita melupakan-Nya tatkala petaka itu telah berlalu
Bagaimana mungkin kita mengharapkan terkabulnya doa
Sementara kita telah menutup jalannya dengan lumuran-lumuran dosa
Faedah Hadits
Sifat Tuhan subhanahu wa ta’ala ialah sifat yang sempurna, disucikan dari setiap kekurangan dan aib.
Tuhan subhanahu wa ta’ala tidak mendapatkan amalan, harta, ucapan, dan keyakinan kecuali dari yang baik, halal, dan tulus ditujukan kepada-Nya.
Penekanan untuk berinfak dari harta yang halal dan larangan untuk berinfak dari selainnya.
Para nabi dan kaum mukminin sama dalam perkara hukum agama kecuali beberapa perkara yang merupakan kekhususan para rasul yang ditunjukkan dengan dalil yang khusus.
Wajib bagi hamba untuk memerhatikan sisi kehalalan dan kebaikan makanan, minuman, pakaian, dan usaha/mata pencahariannya karena sesuatu yang haram dapat mencegah diterimanya doa dan ibadah.
Makanan yang lezat tapi tidak halal dan baik, akan menjadi bencana bagi orang yang memakannya, dan Allahsubhanahu wa ta’ala tidak akan mendapatkan amalannya.
Seseorang akan diberi pahala atas apa yang dia makan apabila ia maksudkan untuk mendapatkan kekuatan dalam melaksanakan ketaatan atau untuk kelangsungan hidupnya, karena hal ini termasuk perkara yang wajib. Berbeda halnya bila seseorang makan semata-mata karena ingin memuaskan selera dan bernikmat-nikmat saja.
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari
Sumber dari asysyariah
0 Response to "Mahalnya Harga Nilai Kehalalan"
Posting Komentar