8 Asnaf Golongan Mustahik Penerima Zakat yang layak berhak mendapatkan Zakat Fitrah dan Zakat Mal
Zakat Fitrah ialah zakat diri yang diwajibkan atas diri setiap individu lelaki dan perempuan muslim yang berkemampuan dengan syarat-syarat yang ditetapkan.
Zakat Mal ( zakat harta ) yaitu zakat yang dikenakan atas harta yang dimiliki oleh individu dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan secara syarak.
Firman Yang Mahakuasa swt dalam surah at Taubah ayat 60 bermaksud:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Yang Mahakuasa dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Yang Mahakuasa Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana..(QS at Taubah 60 )
Siapa saja Golongan Mustahik Penerima Zakat yang layak berhak mendapatkan Zakat Fitrah dan Zakat Mal ?
Berikut adalah 8 Asnaf Golongan Mustahik Penerima Zakat yang layak berhak mendapatkan Zakat Fitrah dan Zakat Mal
1. Fakir (al Fuqara) – yaitu orang yang tiada harta pendapatan yang mencukupi untuknya dan keperluannya. Tidak mempunyai keluarga untuk mencukupkan nafkahnya menyerupai makanan, pakaian dan tempat tinggal.
2. Miskin (al-Masakin) – mempunyai kemampuan perjuangan untuk mendapatkan keperluan hidupnya akan tetapi tidak mencukupi sepenuhnya
3. Amil – orang yang dilantik untuk memungut dan mengagih wang zakat.
4. Muallaf – seseorang yang gres memeluk agama Islam.
5. Riqab – seseorang yang terbelenggu dan tiada kebebasan diri.
6. Gharimin – penghutang muslim yang tidak mempunyai sumber untuk menjelaskan hutang yang diharuskan oleh syarak pada kasus asasi untuk diri dan tanggungjawab yang wajib ke atasnya.
7. Fisabilillah – orang yang berjuang, berusaha dan melaksanakan aktiviti untuk menegakkan dan meninggikan agama Allah.
8. Ibnus Sabil – musafir yang kehabisan bekalan dalam perjalanan atau semasa memulakan perjalanan dari negaranya yang mendatangkan pulangan yang baik kepada Islam dan umatnya atau orang Islam yang tiada perbekalan di jalanan.
1.Orang-orang fakir
Fakir yaitu orang yang tiada harta pendapatan yang mencukupi untuknya dan keperluannya. Tidak mempunyai keluarga untuk mencukupkan nafkahnya menyerupai makanan, pakaian dan tempat tinggal.
Dalam Ilmu Fiqih, orang miskin ialah orang yang berpenghasilan rendah, dan tidak mencukupi penghasilan yang ia peroleh. Sedang fakir ialah orang yang tidak berharta dan tidak berpenghasilan. Kedua istilah ini sering digabung menjadi Fakirmiskin, sebagai citra orang yang lemah dan perlu di tolong.
Dari Abdullah Ibnu Umar bin al-Ash r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Zakat tidak halal bagi orang yang kaya dan tidak (pula) bagi orang yang sehat dan kuat,” (Shahih : Shahihul Jami’ no: 7251, Tirmidzi II: 81 no: 647, ‘Aunul Ma’bud V:42 no:1618, dan Abu Hurairah meriwayatkannya lihat Ibnu Majah I:589 no: 1839 dan Nasa’i V:39).
Dari Ubaidillah bin ‘Adi bin al-Khiyar r.a. bahwa ada dua orang sahabat mengabarkan kepadanya bahwa mereka berdua pernah menemui Nabi saw. meminta zakat kepadanya, maka Rasulullah memperhatikan mereka berdua dengan seksama dan Rasulullah mendapatkan mereka sebagai orang-orang yang gagah. Kemudian Rasulullah bersabda, “Jika kau berdua mau, akan saya beri, tetapi (sesungguhnya) orang yang kaya dan orang yang berpengaruh berusaha tidak mempunyai serpihan untuk mendapatkan zakat,” (Shahih : Shahih Abu Daud no: 1438, ‘Aunul Ma’bud V: 41 serta Nasa’i V:99).
2. Orang-Orang Miskin.
Miskin yaitu Seseorang / golongan yang mempunyai kemampuan perjuangan untuk mendapatkan keperluan hidupnya akan tetapi tidak mencukupi sepenuhnya
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling minta-minta semoga diberi sesuap dua suap kuliner dan satu biji kurma,” (Kemudian) para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, (kalau begitu) siapa yang dimaksud orang miskin itu?” Jawab Beliau, “Salah mereka yang yang hidupnya tidak berkecukupan dan dia tidak punya kepandaian untuk itu, lalau diberi shadaqah, dan mereka tidak mau minta-minta kepada orang lain.” (Muttafaqun ‘alaih:Muslim II : 719 no:1039 dan lafadz baginya, Fathul Bari III : 341 no: 1479, Nasa’i V:85 dan Abu Daud V:39 no: 1615).
3. Para Amil Zakat
Mereka yaitu orang-orang yang bertugas menarik dan mengumpulkan zakat. Mereka berhak mendapatkan serpihan dari zakat, namun mereka dilarang berasal dari kalangan kerabat Rasulullah saw. yang haram mendapatkan zakat. Hal ini ditegaskan oleh hadits shahih riwayat Imam Muslim dan lain-lain :
Dari Abdul Mutthalib bin Rabi’ah al Harits bahwa ia pernah berangkat di Fadhl bin al Abbas r.a. menghadap Rasulullah saw. kemudian memohon kepada dia semoga mereka diangkat sebagai penarik dan pengumpul zakat. Maka (kepada mereka). Beliau bersabda, “Sesungguhnya zakat itu tidak halal bagi keluarga Muhammad dan tidak (pula) bagi keluarga Muhammad; alasannya yaitu zakat itu yaitu kotoran (untuk mensucikan diri) manusia.” (Shahih ; Shahihul Jami’ no:1664, Muslim II : 752 no:1072, ‘Aunul Ma’bud VIII: 205.(Imam Nawawi berkata, “Ma’na AUSAKHUN NAAS ialah zakat itu sebagai pembersih harta benda dan jiwa mereka, sebagaimana yang ditegaskan Yang Mahakuasa Ta’ala, “Pungutlah sebagian dari harta benda mereka sebagai zakat yang mensucikan mereka dan membersihkan (jiwa) mereka.“ Kaprikornus zakat yaitu pembersih kotoran. Lihat Syarah Muslim VII:251).
4.Orang-orang Muallaf
Kelompok muallaf ini terbagi menjadi beberapa bagian.
1.Orang yang diberi sebagian zakat semoga kemudian memeluk Islam. Sebagai misal Nabi saw. pernah memberi Shafwan bin Umayyah sebagian dari hasil rampasan perang Hunain, dimana waktu itu ia ikut berperang bersama kaum Muslimin:
“Nabi saw. selalu memberi kepada hingga dia menjadi orang yang paling kucintai, sesudah sebelumnya dia menjadi orang yang paling kubenci.” (Shahih : Mukhtashar Muslim no: 1558, Muslim II:754 no:168 dan 1072, ‘Aunul Ma’bud VIII: 205-208 no: 2969, dan Nasa’i V:105-106).
2.Golongan orang yang diberi zakat dengan cita-cita semoga keislamannya kian baik dan hatinya semakin mantap.
Seperti pada waktu perang Hunain juga,ada sekelompok prajurit beserta pemukanya diberi seratus unta, kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya saya benar-benar memberi zakat kepada seorang laki-laki, walaupun selain dia lebih kucintai daripadanya (laki-laki tersebut) alasannya yaitu khawatir Yang Mahakuasa akan mencampakkannya ke (jurang) neraka Jahanam.” (Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari I: 79 no:27, Muslim I:132 no:150, ‘Aunul Ma’bud XII : 440 no:4659, dan Nasa’i VIII:103).
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan dari Abu Sa’id r.a. bahwa Ali r.a. pernah diutus menghadap kepada Nabi saw. dari Yaman dengan membawa emas yang masih berdebu, kemudian dibagi oleh dia saw. kepada empat orang (pertama) al-Aqra’ bin Habis, (kedua) Uyainah bin Badr, (ketiga) ‘Alqamah bin ‘Alatsah, dan (keempat) Zaid al-Khair, kemudian Rasulullah bersabda, “Aku menggoda mereka.” (Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari III: 67 no:4351, Muslim II:741 no:1064, ‘Aunul Ma’bud XIII : 109 no:4738).
3.Bagian ini ialah orang-orang muallaf yang diberi zakat karena rekan-rekan mereka yang masih dibutuhkan juga memeluk Islam.
4.Mereka yang mendapat serpihan zakat semoga menarik zakat dari rekan-rekannya, atau semoga membantu ikut mengamankan kaum Muslimin yang sedang bertugas di tempat perbatasan. Wallahu a’lam.
Apakah muallaf sepeninggal Nabi saw. masih berhak mendapatkan serpihan dari zakat ?
Ibnu Katsir r.a. menyampaikan bahwa dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama’ bahwa para muallaf tidak usah diberi serpihan dari zakat sesudah dia wafat, alasannya yaitu Yang Mahakuasa telah memperkuat agama Islam dan para pemeluknya serta telah memberi kedudukan yang berpengaruh kepada mereka di bumi dan telah mengakibatkan hamba-hambaNya tunduk pada mereka (kaum muslimin).
Kelompok yang lain berpendapat, bahwa para muallaf itu tetap harus diberi, alasannya yaitu Rasulullah saw. pernah memberi mereka zakat sesudah penaklukan kota Mekkah dan penaklukan Hawazin, zakat ini adakala amat dibutuhkan oleh mereka, sehingga mereka harus mendapat alokasi serpihan dari zakat.
5 Budak
Diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri, Muqatil bin Hayyan, Umar bin Abdul Aziz, Sa’id bin Jubair, an-Nakha’i, az-Zuhri, Ibnu Zaid bahwa yang dimaksud riqab, bentuk jama’ dari raqabah “budak belian” ialah hamba mukatab (hama yang telah menyatakan perjanjian dengan tuannya bilamana sanggup menghasilkan harta dengan nilai tertentu dia akan dimerdekakan, pent). Diriwayatkan juga pendapat yang semisal dengan pendapat tersebut dari Abu Musa al-Asy’ari, dan ini yaitu pendapat Imam Syafi’i dan al-Lain.
Ibnu Abbas dan al-Hasan berkata, “Tidak mengapa memerdekakan budak belian dengan uang dari zakat.” Ini juga menjadi pendapat Mazhab Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Ishaq. Yaitu bahwa kata riqab lebih menyeluruh ma’nanya daripada sekedar memberi zakat kepada hamba mukatab, atau sekedar membeli budak kemudian dimerdekakan.
Ada banyak hadits yang mengambarkan besarnya pahala memerdekakan budak, dan Yang Mahakuasa SWT untuk setiap anggota tubuh budak tersebut memerdekakan satu anggota tubuh orang yang memerdekakannya dari api neraka, hingga untuk kemaluan sang budak Yang Mahakuasa memerdekakan kemaluan orang yang memerdekakannya. Sebagaimana yang ditegaskan dalam hadits berikut :
Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang telah memerdekakan seorang budak mukmin, pasti Yang Mahakuasa dengan setiap anggota badannya akan membebaskannya anggota tubuh (orang yang memerdekakannya) dari api neraka, hingga orang itu memerdekakan (masalah) kemaluan dengan kemaluan.” (Shahih : Shahihul Jami’us Shaghir no:6051, Tirmidzi III:49 no: 1581).
Hal itu tidak lain, alasannya yaitu akibat suatu amal perbuatan homogen dengan amal yang dilakukannya. Yang Mahakuasa berfirman, “Dan kamu tidak diberi pembalasan, melainkan apa yang telah kau lakukan.” (QS.ash-Shaffat.39).
6. Orang-orang yang Berhutang
Mereka terbagi menjadi beberapa serpihan : Pertama, orang yang mempunyai tanggungan atau dia menjamin suatu hutang kemudian menjadi wajib baginya untuk melunasinya kemudian meludeskan seluruh hartanya alasannya yaitu hutang tersebut; kedua, orang yang bangkrut; ketiga, orang yang berhutang untuk menutupi hutangnya; dan keempat, orang yang berlumuran maksiat, kemudian bertaubat. Maka mereka semua layak mendapatkan serpihan dari zakat.
Dasar yang mengakibatkan pijakan untuk dilema ini ialah hadits dari Qubaishah bin Mukhariq al-Hilali r.a. ia berkata, Aku pernah mempunyai tanggungan (untuk mendamaikan dua pihak yang bersengketa), kemudian saya tiba kepada Rasulullah saw. menanyakan wacana beban tanggungan itu. Maka Beliau bersabda, “Tegakkanlah, hingga tiba zakat untuk kuberikan kepadamu!” Rasulullah saw. melanjutkan sabdanya, “Ya Qubaishah gotong royong meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi tiga golongan: (Pertama) orang-orang yang memikul beban untuk mendamaikan dua pihak yang bersengketa, maka dihalalkan baginya meminta, hingga berhasil mendapatkannya, sehingga berhenti memintanya. (Kedua), orang yang tertimpa kebingungan yang sangat, alasannya yaitu rusaknya harta bendanya, maka kepadanya dihalalkan meminta zakat, sehingga ia mendapatkan kekuatan untuk menutupi kebutuhan hidupnya. (Ketiga), orang yang mendapatkan kesulitan hidup hingga tiga orang dari pemuka kaumnya bangkit (lalu bertutur), bahwa kesulitan hidup telah menimpa si fulan, maka baginya dihalalkan meminta hingga mempunyai kekuatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka tidak ada hak bagi selain yang tiga kelompok itu untuk meminta wahai Qubaishah!” (Shahih : Mukhtashar Muslim no: 568, Muslim II: 722 no:1044, ‘Aunul Ma’bud V:49 no: 1624, dan Nasa’i V:96).
7 fi sabilillah ialah para mujahid sukarelawan yang tidak mempunyai serpihan atau honor yang tetap dari kas negara.
Menurut Imam Ahmad, al-Hasan al-Bashri dan Ishaq bahwa menunaikan ibadah haji termasuk fi sabilillah. Menurut irit penulis Syaikh Abdul ‘Azhim bin Badawi, tiga imam itu mendasarkan pendapatnya pada hadits berikut :
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bermaksud hendak menunaikan ibadah haji. Lalu ada seorang perempuan berkata kepada suaminya (tolong) hajikanlah saya bersama Rasulullah saw.” Maka jawabnya, “Aku tidak punya biaya untuk menghajikanmu.“ Ia berkata (lagi) kepada suaminya, “(Tolong) hajikanlah diriku dengan biaya dari menjual untamu (yang berasal dari zakat) si fulan itu.” Maka jawabnya, “Itu diperuntukkan fi sabilillah Azza Wa Jalla.” Kemudian sang suami tiba menghadap Rasulullah saw. kemudian bertutur, “(Ya Rasulullah), gotong royong isteriku memberikan salam kepadamu; dan ia meminta kepadaku semoga ia bisa menunaikan ibadah haji bersamamu. Ia mengatakan, kepadaku, “(Tolong) hajikanlah saya dengan biaya dari hasil menjual untamu (yang berasal dari zakat) si fulan itu,’ Lalu saya jawab, “Itu diperuntukkan fi sabilillah,’ “Maka Rasulullah saw. bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya, kalau engkau menghajikannya dengan biaya berasal dari hasil tersebut, berarti fi sabilillah juga).” (Hasan Shahih : Shahih Abu Daud no : 1753, ‘Aunul Ma’bud V:465 no : 1974, Mustadrak Hakim I: 183, dan Baihaqi VI: 164).
8. Ibnu Sabil
Adalah seorang yang musafir melintas di suatu negeri tanpa membawa bekal yang cukup untuk kepentingan perjalanannya, maka dia pantas mendapat alokasi dari serpihan zakat yang cukup hingga kembali ke negerinya sendiri, meskipun ia seorang yang mempunyai harta.
Demikian juga aturan yang diterapkan kepada orang yang mengadakan safar dari negerinya ke negeri orang dan dia ia tidak membawa bekal sedikitpun, maka ia berhak diberi serpihan dari zakat yang sekiranya cukup untuk pulang dan pergi. Adapun dalilnya ialah ayat enam puluh surah at-Taubah dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Ibnu Majah.
Dari Ma’mar dari Yasid bin Aslam, dari ‘Atha’ bin Yassar dari Abi Sa’id r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Zakat tidak halal bagi orang yang kaya, kecuali bagi lima (kelompok): (pertama) orang kaya yang menjadi amil zakat, (kedua) orang kaya yang membeli barang zakat dengan harta pribadinya, (ketiga) orang yang berutang; (keempat) orang kaya yang ikut berperang di jalan Allah, (kelima) orang miskin yang mendapat serpihan zakat, kemudian dihadiahkannya kembali kepada orang kaya,” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7250, ‘Aunul Ma’bud V : 44 no : 1619, dan Ibnu Majah I: 590 no :1841).
Demikian 8 Asnaf Golongan Mustahik Penerima Zakat yang layak berhak mendapatkan Zakat Fitrah dan Zakat Mal
Zakat Fitrah ialah zakat diri yang diwajibkan atas diri setiap individu lelaki dan perempuan muslim yang berkemampuan dengan syarat-syarat yang ditetapkan.
Zakat Mal ( zakat harta ) yaitu zakat yang dikenakan atas harta yang dimiliki oleh individu dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan secara syarak.
Firman Yang Mahakuasa swt dalam surah at Taubah ayat 60 bermaksud:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Yang Mahakuasa dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Yang Mahakuasa Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana..(QS at Taubah 60 )
Siapa saja Golongan Mustahik Penerima Zakat yang layak berhak mendapatkan Zakat Fitrah dan Zakat Mal ?
Berikut adalah 8 Asnaf Golongan Mustahik Penerima Zakat yang layak berhak mendapatkan Zakat Fitrah dan Zakat Mal
1. Fakir (al Fuqara) – yaitu orang yang tiada harta pendapatan yang mencukupi untuknya dan keperluannya. Tidak mempunyai keluarga untuk mencukupkan nafkahnya menyerupai makanan, pakaian dan tempat tinggal.
2. Miskin (al-Masakin) – mempunyai kemampuan perjuangan untuk mendapatkan keperluan hidupnya akan tetapi tidak mencukupi sepenuhnya
3. Amil – orang yang dilantik untuk memungut dan mengagih wang zakat.
4. Muallaf – seseorang yang gres memeluk agama Islam.
5. Riqab – seseorang yang terbelenggu dan tiada kebebasan diri.
6. Gharimin – penghutang muslim yang tidak mempunyai sumber untuk menjelaskan hutang yang diharuskan oleh syarak pada kasus asasi untuk diri dan tanggungjawab yang wajib ke atasnya.
7. Fisabilillah – orang yang berjuang, berusaha dan melaksanakan aktiviti untuk menegakkan dan meninggikan agama Allah.
8. Ibnus Sabil – musafir yang kehabisan bekalan dalam perjalanan atau semasa memulakan perjalanan dari negaranya yang mendatangkan pulangan yang baik kepada Islam dan umatnya atau orang Islam yang tiada perbekalan di jalanan.
1.Orang-orang fakir
Fakir yaitu orang yang tiada harta pendapatan yang mencukupi untuknya dan keperluannya. Tidak mempunyai keluarga untuk mencukupkan nafkahnya menyerupai makanan, pakaian dan tempat tinggal.
Dalam Ilmu Fiqih, orang miskin ialah orang yang berpenghasilan rendah, dan tidak mencukupi penghasilan yang ia peroleh. Sedang fakir ialah orang yang tidak berharta dan tidak berpenghasilan. Kedua istilah ini sering digabung menjadi Fakirmiskin, sebagai citra orang yang lemah dan perlu di tolong.
Dari Ubaidillah bin ‘Adi bin al-Khiyar r.a. bahwa ada dua orang sahabat mengabarkan kepadanya bahwa mereka berdua pernah menemui Nabi saw. meminta zakat kepadanya, maka Rasulullah memperhatikan mereka berdua dengan seksama dan Rasulullah mendapatkan mereka sebagai orang-orang yang gagah. Kemudian Rasulullah bersabda, “Jika kau berdua mau, akan saya beri, tetapi (sesungguhnya) orang yang kaya dan orang yang berpengaruh berusaha tidak mempunyai serpihan untuk mendapatkan zakat,” (Shahih : Shahih Abu Daud no: 1438, ‘Aunul Ma’bud V: 41 serta Nasa’i V:99).
2. Orang-Orang Miskin.
Miskin yaitu Seseorang / golongan yang mempunyai kemampuan perjuangan untuk mendapatkan keperluan hidupnya akan tetapi tidak mencukupi sepenuhnya
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling minta-minta semoga diberi sesuap dua suap kuliner dan satu biji kurma,” (Kemudian) para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, (kalau begitu) siapa yang dimaksud orang miskin itu?” Jawab Beliau, “Salah mereka yang yang hidupnya tidak berkecukupan dan dia tidak punya kepandaian untuk itu, lalau diberi shadaqah, dan mereka tidak mau minta-minta kepada orang lain.” (Muttafaqun ‘alaih:Muslim II : 719 no:1039 dan lafadz baginya, Fathul Bari III : 341 no: 1479, Nasa’i V:85 dan Abu Daud V:39 no: 1615).
3. Para Amil Zakat
Mereka yaitu orang-orang yang bertugas menarik dan mengumpulkan zakat. Mereka berhak mendapatkan serpihan dari zakat, namun mereka dilarang berasal dari kalangan kerabat Rasulullah saw. yang haram mendapatkan zakat. Hal ini ditegaskan oleh hadits shahih riwayat Imam Muslim dan lain-lain :
Dari Abdul Mutthalib bin Rabi’ah al Harits bahwa ia pernah berangkat di Fadhl bin al Abbas r.a. menghadap Rasulullah saw. kemudian memohon kepada dia semoga mereka diangkat sebagai penarik dan pengumpul zakat. Maka (kepada mereka). Beliau bersabda, “Sesungguhnya zakat itu tidak halal bagi keluarga Muhammad dan tidak (pula) bagi keluarga Muhammad; alasannya yaitu zakat itu yaitu kotoran (untuk mensucikan diri) manusia.” (Shahih ; Shahihul Jami’ no:1664, Muslim II : 752 no:1072, ‘Aunul Ma’bud VIII: 205.(Imam Nawawi berkata, “Ma’na AUSAKHUN NAAS ialah zakat itu sebagai pembersih harta benda dan jiwa mereka, sebagaimana yang ditegaskan Yang Mahakuasa Ta’ala, “Pungutlah sebagian dari harta benda mereka sebagai zakat yang mensucikan mereka dan membersihkan (jiwa) mereka.“ Kaprikornus zakat yaitu pembersih kotoran. Lihat Syarah Muslim VII:251).
4.Orang-orang Muallaf
Kelompok muallaf ini terbagi menjadi beberapa bagian.
1.Orang yang diberi sebagian zakat semoga kemudian memeluk Islam. Sebagai misal Nabi saw. pernah memberi Shafwan bin Umayyah sebagian dari hasil rampasan perang Hunain, dimana waktu itu ia ikut berperang bersama kaum Muslimin:
“Nabi saw. selalu memberi kepada hingga dia menjadi orang yang paling kucintai, sesudah sebelumnya dia menjadi orang yang paling kubenci.” (Shahih : Mukhtashar Muslim no: 1558, Muslim II:754 no:168 dan 1072, ‘Aunul Ma’bud VIII: 205-208 no: 2969, dan Nasa’i V:105-106).
2.Golongan orang yang diberi zakat dengan cita-cita semoga keislamannya kian baik dan hatinya semakin mantap.
Seperti pada waktu perang Hunain juga,ada sekelompok prajurit beserta pemukanya diberi seratus unta, kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya saya benar-benar memberi zakat kepada seorang laki-laki, walaupun selain dia lebih kucintai daripadanya (laki-laki tersebut) alasannya yaitu khawatir Yang Mahakuasa akan mencampakkannya ke (jurang) neraka Jahanam.” (Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari I: 79 no:27, Muslim I:132 no:150, ‘Aunul Ma’bud XII : 440 no:4659, dan Nasa’i VIII:103).
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan dari Abu Sa’id r.a. bahwa Ali r.a. pernah diutus menghadap kepada Nabi saw. dari Yaman dengan membawa emas yang masih berdebu, kemudian dibagi oleh dia saw. kepada empat orang (pertama) al-Aqra’ bin Habis, (kedua) Uyainah bin Badr, (ketiga) ‘Alqamah bin ‘Alatsah, dan (keempat) Zaid al-Khair, kemudian Rasulullah bersabda, “Aku menggoda mereka.” (Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari III: 67 no:4351, Muslim II:741 no:1064, ‘Aunul Ma’bud XIII : 109 no:4738).
3.Bagian ini ialah orang-orang muallaf yang diberi zakat karena rekan-rekan mereka yang masih dibutuhkan juga memeluk Islam.
4.Mereka yang mendapat serpihan zakat semoga menarik zakat dari rekan-rekannya, atau semoga membantu ikut mengamankan kaum Muslimin yang sedang bertugas di tempat perbatasan. Wallahu a’lam.
Apakah muallaf sepeninggal Nabi saw. masih berhak mendapatkan serpihan dari zakat ?
Ibnu Katsir r.a. menyampaikan bahwa dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama’ bahwa para muallaf tidak usah diberi serpihan dari zakat sesudah dia wafat, alasannya yaitu Yang Mahakuasa telah memperkuat agama Islam dan para pemeluknya serta telah memberi kedudukan yang berpengaruh kepada mereka di bumi dan telah mengakibatkan hamba-hambaNya tunduk pada mereka (kaum muslimin).
Kelompok yang lain berpendapat, bahwa para muallaf itu tetap harus diberi, alasannya yaitu Rasulullah saw. pernah memberi mereka zakat sesudah penaklukan kota Mekkah dan penaklukan Hawazin, zakat ini adakala amat dibutuhkan oleh mereka, sehingga mereka harus mendapat alokasi serpihan dari zakat.
5 Budak
Diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri, Muqatil bin Hayyan, Umar bin Abdul Aziz, Sa’id bin Jubair, an-Nakha’i, az-Zuhri, Ibnu Zaid bahwa yang dimaksud riqab, bentuk jama’ dari raqabah “budak belian” ialah hamba mukatab (hama yang telah menyatakan perjanjian dengan tuannya bilamana sanggup menghasilkan harta dengan nilai tertentu dia akan dimerdekakan, pent). Diriwayatkan juga pendapat yang semisal dengan pendapat tersebut dari Abu Musa al-Asy’ari, dan ini yaitu pendapat Imam Syafi’i dan al-Lain.
Ibnu Abbas dan al-Hasan berkata, “Tidak mengapa memerdekakan budak belian dengan uang dari zakat.” Ini juga menjadi pendapat Mazhab Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Ishaq. Yaitu bahwa kata riqab lebih menyeluruh ma’nanya daripada sekedar memberi zakat kepada hamba mukatab, atau sekedar membeli budak kemudian dimerdekakan.
Ada banyak hadits yang mengambarkan besarnya pahala memerdekakan budak, dan Yang Mahakuasa SWT untuk setiap anggota tubuh budak tersebut memerdekakan satu anggota tubuh orang yang memerdekakannya dari api neraka, hingga untuk kemaluan sang budak Yang Mahakuasa memerdekakan kemaluan orang yang memerdekakannya. Sebagaimana yang ditegaskan dalam hadits berikut :
Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang telah memerdekakan seorang budak mukmin, pasti Yang Mahakuasa dengan setiap anggota badannya akan membebaskannya anggota tubuh (orang yang memerdekakannya) dari api neraka, hingga orang itu memerdekakan (masalah) kemaluan dengan kemaluan.” (Shahih : Shahihul Jami’us Shaghir no:6051, Tirmidzi III:49 no: 1581).
Hal itu tidak lain, alasannya yaitu akibat suatu amal perbuatan homogen dengan amal yang dilakukannya. Yang Mahakuasa berfirman, “Dan kamu tidak diberi pembalasan, melainkan apa yang telah kau lakukan.” (QS.ash-Shaffat.39).
6. Orang-orang yang Berhutang
Mereka terbagi menjadi beberapa serpihan : Pertama, orang yang mempunyai tanggungan atau dia menjamin suatu hutang kemudian menjadi wajib baginya untuk melunasinya kemudian meludeskan seluruh hartanya alasannya yaitu hutang tersebut; kedua, orang yang bangkrut; ketiga, orang yang berhutang untuk menutupi hutangnya; dan keempat, orang yang berlumuran maksiat, kemudian bertaubat. Maka mereka semua layak mendapatkan serpihan dari zakat.
Dasar yang mengakibatkan pijakan untuk dilema ini ialah hadits dari Qubaishah bin Mukhariq al-Hilali r.a. ia berkata, Aku pernah mempunyai tanggungan (untuk mendamaikan dua pihak yang bersengketa), kemudian saya tiba kepada Rasulullah saw. menanyakan wacana beban tanggungan itu. Maka Beliau bersabda, “Tegakkanlah, hingga tiba zakat untuk kuberikan kepadamu!” Rasulullah saw. melanjutkan sabdanya, “Ya Qubaishah gotong royong meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi tiga golongan: (Pertama) orang-orang yang memikul beban untuk mendamaikan dua pihak yang bersengketa, maka dihalalkan baginya meminta, hingga berhasil mendapatkannya, sehingga berhenti memintanya. (Kedua), orang yang tertimpa kebingungan yang sangat, alasannya yaitu rusaknya harta bendanya, maka kepadanya dihalalkan meminta zakat, sehingga ia mendapatkan kekuatan untuk menutupi kebutuhan hidupnya. (Ketiga), orang yang mendapatkan kesulitan hidup hingga tiga orang dari pemuka kaumnya bangkit (lalu bertutur), bahwa kesulitan hidup telah menimpa si fulan, maka baginya dihalalkan meminta hingga mempunyai kekuatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka tidak ada hak bagi selain yang tiga kelompok itu untuk meminta wahai Qubaishah!” (Shahih : Mukhtashar Muslim no: 568, Muslim II: 722 no:1044, ‘Aunul Ma’bud V:49 no: 1624, dan Nasa’i V:96).
7 fi sabilillah ialah para mujahid sukarelawan yang tidak mempunyai serpihan atau honor yang tetap dari kas negara.
Menurut Imam Ahmad, al-Hasan al-Bashri dan Ishaq bahwa menunaikan ibadah haji termasuk fi sabilillah. Menurut irit penulis Syaikh Abdul ‘Azhim bin Badawi, tiga imam itu mendasarkan pendapatnya pada hadits berikut :
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bermaksud hendak menunaikan ibadah haji. Lalu ada seorang perempuan berkata kepada suaminya (tolong) hajikanlah saya bersama Rasulullah saw.” Maka jawabnya, “Aku tidak punya biaya untuk menghajikanmu.“ Ia berkata (lagi) kepada suaminya, “(Tolong) hajikanlah diriku dengan biaya dari menjual untamu (yang berasal dari zakat) si fulan itu.” Maka jawabnya, “Itu diperuntukkan fi sabilillah Azza Wa Jalla.” Kemudian sang suami tiba menghadap Rasulullah saw. kemudian bertutur, “(Ya Rasulullah), gotong royong isteriku memberikan salam kepadamu; dan ia meminta kepadaku semoga ia bisa menunaikan ibadah haji bersamamu. Ia mengatakan, kepadaku, “(Tolong) hajikanlah saya dengan biaya dari hasil menjual untamu (yang berasal dari zakat) si fulan itu,’ Lalu saya jawab, “Itu diperuntukkan fi sabilillah,’ “Maka Rasulullah saw. bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya, kalau engkau menghajikannya dengan biaya berasal dari hasil tersebut, berarti fi sabilillah juga).” (Hasan Shahih : Shahih Abu Daud no : 1753, ‘Aunul Ma’bud V:465 no : 1974, Mustadrak Hakim I: 183, dan Baihaqi VI: 164).
8. Ibnu Sabil
Adalah seorang yang musafir melintas di suatu negeri tanpa membawa bekal yang cukup untuk kepentingan perjalanannya, maka dia pantas mendapat alokasi dari serpihan zakat yang cukup hingga kembali ke negerinya sendiri, meskipun ia seorang yang mempunyai harta.
Demikian juga aturan yang diterapkan kepada orang yang mengadakan safar dari negerinya ke negeri orang dan dia ia tidak membawa bekal sedikitpun, maka ia berhak diberi serpihan dari zakat yang sekiranya cukup untuk pulang dan pergi. Adapun dalilnya ialah ayat enam puluh surah at-Taubah dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Ibnu Majah.
Dari Ma’mar dari Yasid bin Aslam, dari ‘Atha’ bin Yassar dari Abi Sa’id r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Zakat tidak halal bagi orang yang kaya, kecuali bagi lima (kelompok): (pertama) orang kaya yang menjadi amil zakat, (kedua) orang kaya yang membeli barang zakat dengan harta pribadinya, (ketiga) orang yang berutang; (keempat) orang kaya yang ikut berperang di jalan Allah, (kelima) orang miskin yang mendapat serpihan zakat, kemudian dihadiahkannya kembali kepada orang kaya,” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7250, ‘Aunul Ma’bud V : 44 no : 1619, dan Ibnu Majah I: 590 no :1841).
Demikian 8 Asnaf Golongan Mustahik Penerima Zakat yang layak berhak mendapatkan Zakat Fitrah dan Zakat Mal
0 Response to "8 Asnaf Golongan Mustahik Akseptor Zakat Yang Layak Berhak Mendapatkan Zakat Fitrah Dan Zakat Mal"
Posting Komentar